Jumat, 23 Desember 2016

Shalat di belakang shof sendirian

Soal: Saya pernah mendengar hadits mengatakan tidak bolehnya seseorang shalat di belakang shof sendirian, dia harus menarik salah satu yang ada di depannya supaya dia tidak sendirian. Apakah ini benar? Mohon dijelaskan, syukron.

Jawab: Hadits-hadits yang melarang seseorang shalat sendirian di belakang shof dan perintah mengulanginya adalah shahih, seperti hadits:

عن وابصة بن معبد أن رجلا صلى خلف الصف وحده فأمره النبي أيعيد الصلاة
Dari Wabishoh bin Ma'bad, bahwasanya ada seseorang yang shalat sendirian di belakang shaf, maka Nabi shalallahu'alaihi wa sallam memerintahkannya untuk mengulangi shalatnya. (HR. Abu Dawud 682, Tirmidzi 1/448 sanadnya shahih ditakhrij dalam Al Irwa' no. 541 oleh Syaikh al Albani rahimahullah)

Sedangkan hadits tentang perintah menarik salah seorang yang ada di depannya supaya bershof bersamanya adalah dha'if, hadits itu adalah:
فقال النبي: ألادخلت في الصف أوجذبت رجلا صلى معك أعد الصلاة
Maka Nabi shalallahu'alaihi wa sallam bersabda kepadanya (orang yang shalat sendirian di belakang shof): "Kenapa engkau tidak masuk ke dalam shof atau menarik salah seorang supaya shalat bersamamu (dalam shof), ulangilah shalatmu!".

Syaikh al Albani rahimahullah berkata: "Sanad hadits ini wahin jiddan (sangat lemah), tidak sah sebagai dalil, karena (dalam sanadnya) ada Qois, dia perawi dha'if, dan Ibnu Abdawaih dia lebih sangat dha'ifnya dari Qois." Kemudian syaikh al Albani menambahkan:"Apabila telah diketahui kedha'ifan hadits ini, maka tidak diperbolehkan mengatakan disyariatkan menarik salah seorang untuk bershof bersamanya, karena perkataan ini adalah pensyari'atan tanpa nash. Dan wajib dilaksanakan adalah bergabung dengan sbif yang ada kalau memungkinkan, kalau tidak, maka shalat sendirian di belakang shof, dan shalatnya sah, karena Allah tidak membebani hamba-Nya dengan apa yang tidak dimampunya." (lihat silsilah Al hadits Ad Dha'ifah no. 922)

Shalat di belakang shof sendirian

Soal: Saya pernah mendengar hadits mengatakan tidak bolehnya seseorang shalat di belakang shof sendirian, dia harus menarik salah satu yang ada di depannya supaya dia tidak sendirian. Apakah ini benar? Mohon dijelaskan, syukron.

Jawab: Hadits-hadits yang melarang seseorang shalat sendirian di belakang shof dan perintah mengulanginya adalah shahih, seperti hadits:

عن وابصة بن معبد أن رجلا صلى خلف الصف وحده فأمره النبي أيعيد الصلاة
Dari Wabishoh bin Ma'bad, bahwasanya ada seseorang yang shalat sendirian di belakang shaf, maka Nabi shalallahu'alaihi wa sallam memerintahkannya untuk mengulangi shalatnya. (HR. Abu Dawud 682, Tirmidzi 1/448 sanadnya shahih ditakhrij dalam Al Irwa' no. 541 oleh Syaikh al Albani rahimahullah)

Sedangkan hadits tentang perintah menarik salah seorang yang ada di depannya supaya bershof bersamanya adalah dha'if, hadits itu adalah:
فقال النبي: ألادخلت في الصف أوجذبت رجلا صلى معك أعد الصلاة
Maka Nabi shalallahu'alaihi wa sallam bersabda kepadanya (orang yang shalat sendirian di belakang shof): "Kenapa engkau tidak masuk ke dalam shof atau menarik salah seorang supaya shalat bersamamu (dalam shof), ulangilah shalatmu!".

Syaikh al Albani rahimahullah berkata: "Sanad hadits ini wahin jiddan (sangat lemah), tidak sah sebagai dalil, karena (dalam sanadnya) ada Qois, dia perawi dha'if, dan Ibnu Abdawaih dia lebih sangat dha'ifnya dari Qois." Kemudian syaikh al Albani menambahkan:"Apabila telah diketahui kedha'ifan hadits ini, maka tidak diperbolehkan mengatakan disyariatkan menarik salah seorang untuk bershof bersamanya, karena perkataan ini adalah pensyari'atan tanpa nash. Dan wajib dilaksanakan adalah bergabung dengan sbif yang ada kalau memungkinkan, kalau tidak, maka shalat sendirian di belakang shof, dan shalatnya sah, karena Allah tidak membebani hamba-Nya dengan apa yang tidak dimampunya." (lihat silsilah Al hadits Ad Dha'ifah no. 922)

Sabtu, 16 Mei 2015

Takhrij Hadits Anjuran Menikah Untuk Para Pemuda


Teks Hadits
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ،            
                                    وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ 
­“Wahai para pemuda, barangsiapa diantara kalian yang mempunyai kemapuan untuk menikah, hendaklah ia menikah. Sesungguhnya menikah itu dapat menahan pandangan mata dan lebih memelihara kemaluan. Dan barangsiapa diantara kalian yang belum mampu menikah, maka hendaklah ia berpuasa, karena sesungguhnya puasa itu benteng(peredam syahwat).”

Takhrij Hadits

SHAHIH. Diriwayatkan oleh Al Bukhari 9/106-Fathul Baari-, Muslim 9/172-syarh Nawawi-, Abu Dawud 6/39-41-‘Aunul Ma’bud-, An Nasa’I 6/56-57, Tirmidzi 4/199-Tuhfatul Ahwadzi-, Ibnu Majah 1/566-567, Ad Darimi 2/57, Ahmad dalam Al Musnad 1/472,425,432, At Thayalisi 272, Humaidi 115, Abdurrazaq 10380, Ibnu Abi Syaibah 4/126, Ath Thabrani dalam (Mu’jam) al Kabir 10/10168,10169,10170,10171, Al Baihaqi 7/77, Al Khattabi dalam At Tarikh 3/156, Ibnul Jarud 672-Ghatsul Makdud- dan Al Baghawi dalam Syarh Sunnah 9/403 dari Abdullah bin Mas’ud radiyallahu’ahuma[1].

Sanad Hadits
Telah menceritakan kepada kami Utsman bin Abi Syaibah: Telah menceritakan kepada Kami Jarir dari al ‘Amasy dari Ibrahim dari Al Qomah[2].
Telah menceritakan kepada kami  Abu Hasyim bin Ziyad bin Ayyub, Waki berkata kepada kami, dari al ‘Amasy, dari Umarah bin Umair dari Abdurrahman bin Yazid dari Abdullah(bin Mas’ud) secara marfu’.[3]

Komentar Para Ulama
Syaikh Albani rahimahullah berkata,”Sanadnya Shahih menurut syarat Syaikhain(Bukhari-Muslim) dan juga dikeluarkan oleh keduanya, dishahihkan oleh Imam Tirmidzi dan Ibnul Jarud.”[4]
Imam Tirmidzi rahimahullah berkata,”Hadits hasan shahih.”
Syaikh Abu Ishaq al Khuwaini-hafidzallah-berkata,”Sanadnya Shahih.”[5]
Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah,”Sanadnya Shahih.”[6]
Kesimpulannya bahwasanya hadits ini shahih dan diterima, cukuplah dua syaikh(Bukhari dan Muslim) telah meriwayatkan hadits ini dalam kedua kitab shahih mereka.

Kandungan Hadits
Dalam hadits dan pesan Nabi yang mulia ini terdapat anjuran bagi para pemuda secara umum untuk menikah demi menjaga kesucian diri, mengekang pandangan mata, dan memelihara kemaluan.
Sabda Nabi yang menyebutkan: “Barangsiapa yang mempunyai kemapuan untuk menikah” maksudnya barangsiapa yang mampu memikul beban dan resiko pernikahan. Menurut satu pendapat disebutkan bahwa sabda tersebut maksudnya barangsiapa yang mampu bersetubuh. Dikatakan demikian karena secara umum kata al ba’ah secara bahasa berarti jima’. Ada pula yang menafsirkan dengan pengertian mampu menanggung resiko pernikahan dan makna yang sejenis, mengingat kata al ba’ah disini digunakan untuk pengertian sesuatu sebagaimana yang menjadi kelazimannya. Artinya, barangsiapa diantara kalian yang mampu menanggung resiko pernikahan, hendaklah ia menikah. Demikianlah yang disebutkan Imam Nawawi.[7]
Sebagian ulama ada yang mennganggap pernikahan merupakan hal yang wajib bagi orang yang mempunyai kemampuan dan dia merasa khawatir akan terjerumus dalam perbuatan zina. Menurut hemat saya,-wallahu ‘alam-pendapat inilah yang rajih(jelas)[8], khususnya untuk zaman yang sulit seperti sekarang ini banyak terjadi fitnah di dalamnya.
Berdasarkan pengertian tersebut, berarti orang yang tidak menikah secara otomatis terjerumus ke dalam fitnah, baik fitnah terjerumus ke dalam  perbuatan keji-naudzubillah-bagi sebagian pemuda, maupun banyak melakukan hal-hal yang diharamkan tetapi dalam tingkat bawah perbuatan zina[9] bagi sebagian generasi pemuda lainnya.
Ringkasnya, Islam menganjurkan untuk menikah dan secara khusus memprioritaskan bagi  mereka yang mampu melaksanakannya.[10]

Pekalongan, 28 Rajab 1436 H-ba’da shubuh-

Saiful Abu Zuhri



[1] Disarikan dari Ghatsul Makdud fi takhrij Hadits al Muntaqo Ibnul Jarud 3/15
[2] Lihat takhrij Induk Shahih Sunan Abu Dawud no. 1578
[3] Ghatsul Makdud fi Takhrij Al Muntaqo Ibnu Jarud 3/15
[4] Lihat takhrij Shahih Sunan Abu Dawud induk 6/286, Shahih Sunan Ibnu Majah no. 1507, Shahih Sunan An Nasa’I no.  3210,3211
[5] Lihat Ghatsul Makdud no.672
[6] Lihat Musnad Ahmad no. 3592-Syarh dan Takhrij Syaikh Ahmad Syakir-.
[7] Tampaknya penulis merujuk ke kitab Syarh Shahih Muslim.
[8] Menurut saya rajih itu bukannya artinya paling kuat, dikatakan pendapat yang paling rajih itu artinya pendapat yang paling kuat. Allahu’alam.
[9] Tingakat bawah dari perbuatan zina semisal onani, masturbasi dan yang lainnya. Para ulama menjadikan hadits ini sebagai dalil akan haramnya perbuatan onani. Allahu’alam.
[10] Diambil dari  buku 25 wasiat Rasullah shalallahu’alaihi wa sallam dalam menuju rumah tangga sakinah oleh ‘Adil Fathi Abdullah.

Kamis, 05 Maret 2015

Kisah Wafatnya Nabi Adam ‘Alaihi sallam


Kisah
Dari Utay[1] dia berkata: “Aku pernah melihat seorang yang sudah tua di madinah sedang  memberikan nasehat. Maka aku bertanya tentang dirinya, manusia mengatakan: “Beliau Ubay bin Ka’ab radiyallahu’ahu.” Orang tua tersebut mengatakan: “Sesungguhnya tatkala Adam hendak meninggal dunia, ia berkata kepada anak-anaknya: “Wahai anakku, sesungguhnya aku rindu dengan buah-buahan di surge.” Maka mereka pun mencarikan untuknya. Mereka bertemu dengan para malaikat yang membawa kain kafan dan minyak wangi (yang disiapkan untuk Adam). Mereka membawa kapak, sekop, serta alat penimbun. Lalu para Malaikat bertanya kepada anak-anak Adam, apa yang kalian inginkan dan apa yang kalian cari, serta hendak kemana kalian?” Mereka menjawab: “Bapak kami sedang sakit, ia ingin (memakan) buah-buahan surga.” Para malaikat menjawab: “kembalilah, karena inilah ajal yang telah ditentukan untuk bapak kalian.”  Maka mereka pun kembali, dan tatkala Hawa melihat mereka, ia langsung paham dan meminta kepada Adam (agar ditangguhkan ajalnya –pent), maka Adam menolak seraya mengatakan: “Menjauhlah engkau dariku, menjauhlah engkau dariku…! Sesungguhnya apa yang aku terima ini Karena sababmu juga[2], biarkan aku sendiri bersama para malaikat Rabbku.” Lalu para malaikat mencabut nyawa Adam, lalu memandikannya, mengkafaninya dan memberinya minyak wangi, lalu mereka menggalikan kubur dan membuat liang lahat, kemudian mereka menyolatinya, lalu masuk ke liang kubur dan meletakkan jasadnya ke dalam kubur, serta meletakkan batu-batu bata padanya, kemudian mereka keluar dari kubur dan meratakan dengan tanah, lalu mereka mengataka: “Wahai anak Adam ini adalah sunnah (syari’at) untuk kalian.”

Takhrij Kisah
Kisah di atas diriwayatkan oleh Abdullah bin Ahmad bin Hambal dalam Zawa’id Musnad 5/136.
Al Hafidz Ibnu Katsir mengatakan: “Sanadnya shahih sampai kepada beliau, yakni Ubay bin Ka’ab.” (lihat Bidayah wa Nihayah 5/98).
Imam Al Haitsami berkata: “Hadits di atas diriwayatkan oleh Abdullah bin Ahmad, dan rijalnya rijal shahih, kecual Utay bin Dhomroh, dia adalah seorang yang tsiqoh.” (lihat Majmu’ Zawa’id 8/199)
Dr. Sulaiman al Asyqor berkata: “Sekalipun hadits ini mauquf kepada Ubay bin Ka’ab, namun hadits ini dihukumi sebagai hadits marfu’ hukman (secara hukum sampai kepada Nabi shalallahu’alaihi wa sallam) karena hadits ini berbicara tentang sesuatu yang tidak mungkin didasarkan pada akal semata.”[3]

Mutiarah Kisah
1.      Disyariatkan mengurus jenazah seperti yang disebutkan dalam hadits di atas. Syariat tersebut syariat semua utusan, maka setiap praktik pengurusan jenazah yang tidak sesuai dengan yang telah disebutkan dalam kisah diatas adalah penyelewengan.[4]
2.      Para malaikat Allah diberi kemampuan untuk berubah wujud menjadi manusia biasa. Bahkan mereka bisa mengajari anak-anak Adam secara teori dan praktik.
3.      Kisah di atas menunjukkan tingginya akhlak anak-anak Nabi Adam, mereka menyerahkan kepada para malaikat perihal pengurusan jenzah yang memang mereka belum memliki ilmunya.
4.      Hendaknya seorang suami memperingatkan istrinya jika menyimpang dari jalan yang lurus. Allah telah memperingatkan kita dari bahaya sebagian istri dan anak-anak kita. Allah Ta’ala berfirman:Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya diantara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu. Maka berhati-hatilah terhadap mereka.”[5]

Demikianlah kisah wafatnya Nabi Adam ‘alaihi sallam, semoga dapat bermanfaat bagi kita.[6]

Pekalongan, 9 Jumadil Ula 1436 H malam hari menjelang tidur

Saiful Abu Zuhri





[1] Beliau adalah Ibnu Dhomroh as Sa’di
[2] Nabi Adam mengisyaratkan kalimat tersebut karena dahulu ia keluar dari surga sebab memakan buah terlarang untuk memenuhi permintaan istrinya.
[3] Penulisnya tidak mencantumkan refrensi perkataan Dr. Sulaiman Al asyqor, kemungkinan lupa atau lalai, tapi saya berpendapat perkataan beliau ini diambil dari kitab beliau Shahih Qoshos Nabawi seperti yang saya pernah baca di ebook yang saya dapatkan di internet. Allahu’alam.
[4] Kitab yang paling bagus yang membahas masalah ini adalah kitab Ahkamu Jana’iz wa Bida’uha Karya Syaikh al Albani rahimahullah.
[5] Qs. At Taghabun[64}: 14
[6] Penulisan ini saya banyak mengambil dari majalah al Furqon edisi khusus ramadhan & syawal 1430 H pada rubric kisah-kisah Nyata hlm. 73-74