Kamis, 05 Maret 2015

Kisah Wafatnya Nabi Adam ‘Alaihi sallam


Kisah
Dari Utay[1] dia berkata: “Aku pernah melihat seorang yang sudah tua di madinah sedang  memberikan nasehat. Maka aku bertanya tentang dirinya, manusia mengatakan: “Beliau Ubay bin Ka’ab radiyallahu’ahu.” Orang tua tersebut mengatakan: “Sesungguhnya tatkala Adam hendak meninggal dunia, ia berkata kepada anak-anaknya: “Wahai anakku, sesungguhnya aku rindu dengan buah-buahan di surge.” Maka mereka pun mencarikan untuknya. Mereka bertemu dengan para malaikat yang membawa kain kafan dan minyak wangi (yang disiapkan untuk Adam). Mereka membawa kapak, sekop, serta alat penimbun. Lalu para Malaikat bertanya kepada anak-anak Adam, apa yang kalian inginkan dan apa yang kalian cari, serta hendak kemana kalian?” Mereka menjawab: “Bapak kami sedang sakit, ia ingin (memakan) buah-buahan surga.” Para malaikat menjawab: “kembalilah, karena inilah ajal yang telah ditentukan untuk bapak kalian.”  Maka mereka pun kembali, dan tatkala Hawa melihat mereka, ia langsung paham dan meminta kepada Adam (agar ditangguhkan ajalnya –pent), maka Adam menolak seraya mengatakan: “Menjauhlah engkau dariku, menjauhlah engkau dariku…! Sesungguhnya apa yang aku terima ini Karena sababmu juga[2], biarkan aku sendiri bersama para malaikat Rabbku.” Lalu para malaikat mencabut nyawa Adam, lalu memandikannya, mengkafaninya dan memberinya minyak wangi, lalu mereka menggalikan kubur dan membuat liang lahat, kemudian mereka menyolatinya, lalu masuk ke liang kubur dan meletakkan jasadnya ke dalam kubur, serta meletakkan batu-batu bata padanya, kemudian mereka keluar dari kubur dan meratakan dengan tanah, lalu mereka mengataka: “Wahai anak Adam ini adalah sunnah (syari’at) untuk kalian.”

Takhrij Kisah
Kisah di atas diriwayatkan oleh Abdullah bin Ahmad bin Hambal dalam Zawa’id Musnad 5/136.
Al Hafidz Ibnu Katsir mengatakan: “Sanadnya shahih sampai kepada beliau, yakni Ubay bin Ka’ab.” (lihat Bidayah wa Nihayah 5/98).
Imam Al Haitsami berkata: “Hadits di atas diriwayatkan oleh Abdullah bin Ahmad, dan rijalnya rijal shahih, kecual Utay bin Dhomroh, dia adalah seorang yang tsiqoh.” (lihat Majmu’ Zawa’id 8/199)
Dr. Sulaiman al Asyqor berkata: “Sekalipun hadits ini mauquf kepada Ubay bin Ka’ab, namun hadits ini dihukumi sebagai hadits marfu’ hukman (secara hukum sampai kepada Nabi shalallahu’alaihi wa sallam) karena hadits ini berbicara tentang sesuatu yang tidak mungkin didasarkan pada akal semata.”[3]

Mutiarah Kisah
1.      Disyariatkan mengurus jenazah seperti yang disebutkan dalam hadits di atas. Syariat tersebut syariat semua utusan, maka setiap praktik pengurusan jenazah yang tidak sesuai dengan yang telah disebutkan dalam kisah diatas adalah penyelewengan.[4]
2.      Para malaikat Allah diberi kemampuan untuk berubah wujud menjadi manusia biasa. Bahkan mereka bisa mengajari anak-anak Adam secara teori dan praktik.
3.      Kisah di atas menunjukkan tingginya akhlak anak-anak Nabi Adam, mereka menyerahkan kepada para malaikat perihal pengurusan jenzah yang memang mereka belum memliki ilmunya.
4.      Hendaknya seorang suami memperingatkan istrinya jika menyimpang dari jalan yang lurus. Allah telah memperingatkan kita dari bahaya sebagian istri dan anak-anak kita. Allah Ta’ala berfirman:Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya diantara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu. Maka berhati-hatilah terhadap mereka.”[5]

Demikianlah kisah wafatnya Nabi Adam ‘alaihi sallam, semoga dapat bermanfaat bagi kita.[6]

Pekalongan, 9 Jumadil Ula 1436 H malam hari menjelang tidur

Saiful Abu Zuhri





[1] Beliau adalah Ibnu Dhomroh as Sa’di
[2] Nabi Adam mengisyaratkan kalimat tersebut karena dahulu ia keluar dari surga sebab memakan buah terlarang untuk memenuhi permintaan istrinya.
[3] Penulisnya tidak mencantumkan refrensi perkataan Dr. Sulaiman Al asyqor, kemungkinan lupa atau lalai, tapi saya berpendapat perkataan beliau ini diambil dari kitab beliau Shahih Qoshos Nabawi seperti yang saya pernah baca di ebook yang saya dapatkan di internet. Allahu’alam.
[4] Kitab yang paling bagus yang membahas masalah ini adalah kitab Ahkamu Jana’iz wa Bida’uha Karya Syaikh al Albani rahimahullah.
[5] Qs. At Taghabun[64}: 14
[6] Penulisan ini saya banyak mengambil dari majalah al Furqon edisi khusus ramadhan & syawal 1430 H pada rubric kisah-kisah Nyata hlm. 73-74