Oleh Al Ustadz Abu Abdillah Ad
Dariniy
Bismillaah… wash sholaatu
wassalaamu alaa Rosulillaah… wa alaa aalihii washohbihii wa man waalaah…
Berikut ini ringkasan kitab Adab Zifaf (Etika Pernikahan), Karya
Syeikh Albani rohimahulloh…
Semoga bermanfaat bagi para pembaca, khususnya yang bersiap akan melangsungkan
pernikahan dan mengakhiri masa lajangnya…
1. Hendaklah dua sejoli yang akan
merajut tali suci nikah, meniatkannya
untuk membersihkan jiwanya dan menjaga dirinya dari apa yang diharamkan Alloh,
karena dengan begitu pergaulan keduanya dicatat sebagai sedekah, sebagaimana
sabda Nabi -shollallohu alaihi wasallam- “Pada
kemaluan salah seorang diantara kalian ada sedekah”. Para sahabat bertanya: “Wahai Rosululloh, apa dengan memuaskan syahwat, orang
bisa menuai pahala?!” . Beliau menjawab: “Bukankah ia akan berdosa jika menaruhnya pada hal yang
harom?! Begitu pula sebaliknya, ia akan mendapat pahala jika menaruhnya pada
hal yang halal” (HR. Muslim: 1006).
2. Saat pertama kali bertemu atau
hendak berhubungan, hendaknya
suami meletakkan tangannya pada permulaan kepala istrinya, seraya membaca
basmalah, doa untuk keberkahannya (misalnya dengan mengucapkan: “اللَّهُمَّ بَارِكْ لِيْ فِيْها،
وَبَارِكْ لَهَا فِيَّ” = ya Alloh
berkahilah dia untukku, dan berkahilah aku untuknya), dan doa berikut ini:
اللَّهُمَّ
إِنِّي أَسْأَلُكَ خَيْرَهَا وَخَيْرَ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ وَأَعُوذُ بِكَ
مِنْ شَرِّهَا وَمِنْ شَرِّ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ
Dengan menyebut nama Alloh… Ya
Alloh sungguh aku mohon padamu kebaikan wanita ini, dan kebaikan tabiatnya. Dan
aku memohon perlindungan-Mu dari keburukannya dan keburukan tabiatnya.
Sebagaimana sabda Rosululloh -shollallohu
alaihi wasallam-: “Jika kalian telah menikahi
wanita atau membeli budak, maka peganglah bagian depan kepalanya, ucapkanlah
basmalah, berdoalah untuk keberkahannya, dan hendaklah ia mengucapkan… (yakni
doa di atas)”. (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, dan yang lainnya, sanadnya
hasan)
3. Sholat sunat dua rekaat
bersamanya, ketika hendak melakukan hubungan pertamanya,kemudian
berdoa:
اللَّهُمَّ
بَارِكْ لِيْ فِيْ أَهْلِيْ، وَبَارِكْ ِلأَهْلِيْ فِيَّ، اللَّهُمَّ ارْزُقْهُمْ
مِنِّيْ، وَارْزُقْنِيْ مِنْهُمْ، اللَّهُمَّ اجْمَعْ بَيْنَنَا مَا جَمَعْتَ فِيْ
خَيْرٍ، وَفَرِّقْ بَيْنَنَا إِذَا فَرَّقْتَ فِيْ خَيْرٍ
Ya Alloh, berilah aku berkah dari
istriku, (begitu pula sebaliknya) berilah istriku berkah dariku. Ya Alloh,
berilah mereka rizki dariku, (begitu pula sebaliknya) berilah aku rizki dari
mereka. Ya Alloh, kumpulkanlah kami jika itu baik bagi kami, dan pisahkanlah
kami jika itu baik bagi kami.
Hal ini disunnahkan karena para salaf dulu melakukannya,
diantara mereka adalah: Ibnu Mas’ud, Abu Dzar, Hudzaifah.
Syaqiq bin Salamah mengatakan: Suatu hari datang lelaki,
namanya: Abu Huraiz, ia mengatakan: “Aku telah menikahi wanita muda dan
perawan, tapi aku khawatir ia akan membuatku cekcok”, maka Abdulloh bin Mas’ud
mengatakan: “Sesungguhnya kerukunan itu dari Alloh, sedang percekcokan itu dari
setan, ia ingin membuatmu benci dengan apa yang Alloh halalkan bagimu. Jika
kamu nanti menemuinya, maka suruh istrimu sholat dua rokaat dibelakangmu dan
bacalah… (yakni doa di atas)!” (HR. Abu Bakar ibnu Abi Syaibah dan
Thobaroni, sanadnya shohih).
4. Bermesraan dengan istri
sebelum berhubungan, misalnya
dengan menyuguhkan minuman atau yang lainnya.
Sebagaimana dijelaskan dalam hadits Asma’ binti Yazid, ia
menceritakan: “(Ketika malam pertamanya Aisyah) aku meriasnya untuk Rosululloh
-shollallohu alaihi wasallam-, lalu aku panggil beliau agar melihat Aisyah yang
sudah terias, dan beliau pun duduk di sampingnya. Kemudian disuguhkan kepada
beliau gelas besar berisi susu, maka beliau meminumnya (sebagian), lalu
memberikannya kepada Aisyah, tapi ia malah menundukkan kepalanya karena malu.
Asma: Aku pun menegurnya dan ku katakan padanya: “Ambillah
(gelas itu) dari tangan Nabi -shollallohu alaihi wasallam-!”. Maka ia pun mau
mengambil dan meminum sebagiannya.
Lalu Nabi -shollallohu alaihi wasallam- mengatakan padanya:
“Berikanlah (sisanya) kepada teman wanitamu (yakni Asma’)!”.
Asma: Aku pun balas mengatakan: “Wahai Rosululloh, ambil saja
dulu, lalu minumlah, setelah itu baru kau berikan padaku!” Maka beliau pun
mengambilnya, meminum, dan selanjutnya memberikannya padaku.
Asma: Lalu aku duduk, dan ku letakkan gelas itu di atas lututku,
kemudian mulai ku putar gelas itu sambil kutempelkan mulutku padanya, agar aku
bisa mengenai bekas tempat minumnya Nabi -shollallohu alaihi wasallam-.
Kemudian kepada para wanita yang berada di sekitarku, beliau
mengatakan: “Berikanlah (wahai Asma’) kepada mereka!”. (Karena sungkan) mereka
menjawab: “Kami tidak menyenanginya”.
Maka beliau mengatakan: “Jangan kalian satukan antara lapar dan
bohong!”. (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dengan dua sanad yang saling
menguatkan, lihat Al-Musnad: 27044 dan 26925)
5. Hendaklah ia berdoa ketika
menggaulinya:
بِسْمِ
اللَّهِ، اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ، وَجَنِّبْ الشَّيْطَانَ مَا
رَزَقْتَنَا
Dengan nama Alloh… Ya Alloh
jauhkanlah kami dari setan, dan jauhkanlah setan dari anak yang engkau karuniakan
pada kami.
Rosul -shollallohu alaihi wasallam- bersabda: “(Dengan doa itu)
apabila Alloh berkehendak memberikan anak, niscaya setan takkan mampu
membahayakan anaknya selamanya”. (HR. Bukhori:141, dan Muslim:1434)
6. Boleh bagi suami menggauli istrinya
di vagina-nya dari arah manapun ia kehendaki, baik
dari depan atau belakang. Sebagaimana firman-Nya (yang artinya): “Istri-istri
kalian adalah ladang bagi kalian, maka datangilah ladang kalian itu dari mana
saja kalian kehendaki!” (Al-Baqoroh: 223).
7. Haram bagi suami menggauli
istrinya di dubur-nya, dan itu termasuk dosa besar, karena sabda Rosul -shollallohu
alaihi wasallam-: “Terlaknat orang yang menggauli para wanita di dubur-nya (yakni lubang anus)”. (HR.
Ibnu Adi, sanadnya hasan).
Syeikh Masyhur mengatakan: “Adapun orang yang
menggauli istrinya di duburnya, maka ia telah melakukan tindakan yang melanggar
syariat, baik asalnya maupun sifatnya, sehingga ia wajib bertaubat kepada
Alloh, dan tidak ada kaffarot (tebusan)
baginya kecuali bertaubat kepada Alloh azza
wajall“. (Fatawa Syeikh Masyhur, hal. 11, Asy-Syamilah)
8. Berwudhu antara dua sesi
berhubungan, dan
lebih afdholnya mandi. Sebagaimana Sabda Rosul -shollallohu alaihi wasallam-:
“Jika salah seorang dari kalian selesai menggauli istrinya, dan ingin nambah
lagi, maka hendaklah ia wudhu, karena itu lebih menggiatkannya untuk
melakukannya lagi”. (HR. Muslim:308, dan Abu Nuaim).
Mandi lebih afdhol, karena hadits riwayat Abu Rofi’: “Suatu hari
Nabi -shollallohu alaihi wasallam- keliling mendatangi istri-istrinya, beliau
mandi di istrinya yang ini, dan mandi lagi di istrinya yang ini. Lalu aku
menanyakan hal itu ke beliau: “Wahai Rosululloh, mengapa tidak mandi sekali
saja?”. Beliau menjawab: “Karena (mandi berkali-kali) itu, lebih bersih, lebih
baik, dan lebih suci”. (HR. Abu Dawud dan yang lainnya, sanadnya hasan)
9. Suami istri dibolehkan mandi
bersama di satu tempat, meski
saling melihat aurat masing-masing. Ada banyak hadits menerangkan hal ini,
diantaranya:
Aisyah mengatakan: “Aku pernah mandi bersama Rosululloh
-shollallohu alaihi wasallam- dari satu tempat air, tangan kami saling berebut,
dan beliau mendahuluiku, hingga aku mengatakan: “Biarkan itu untukku, biarkan
itu untukku!”, ketika itu kami berdua sedang junub. (HR. Muslim: 321)
10. Usai berhubungan hendaklah
wudhu sebelum tidur, dan
lebih afdholnya mandi. Karena hadits riwayat Abdulloh bin Qois, ia mengatakan:
Aku pernah menanyakan ke Aisyah: “Bagaimana Nabi -shollohu alaihi wasallam-
dulu ketika junub, apa mandi sebelum tidur, atau sebaliknya tidur sebelum
mandi?”. Ia menjawab: “Semuanya pernah beliau lakukan, kadang beliau mandi lalu
tidur, dan kadang beliau wudhu lalu tidur”. Aku menimpali: “Segala puji bagi
Alloh yang telah menjadikan perkara ini mudah”. (HR. Muslim: 307)
11. Jika istri sedang haid, suami
tetap boleh melakukan apa saja dengannya, kecuali jima’.Sebagaimana
sabda beliau: “Lakukan apa saja (dengan istri kalian) kecuali jima’“. (HR. Muslim: 302)
Kaffarot (tebusan) bagi orang yang
menjima’ istrinya ketika haid, diterangkan dalam hadits riwayat Ibnu Abbas:
Nabi -shollallohu alaihi wasallam- pernah ditanya tentang suami yang
mendatangi istrinya ketika haid, maka beliau menjawab: “Hendaklah ia bersedekah
dengan satu dinar atau setengah dinar!”. (HR. Abu Dawud dan yang lainnya,
sanadnya shohih)
Syeikh Masyhur mengatakan: “Yang dimaksud dengan
dinar di hadits itu adalah dinar emas, dan 1dinar emas itu sama dengan
1mitsqol, sedang 1mitsqol itu sama dengan 4,24 gram emas murni”. (Fatawa Syeikh
Masyhur, hal 11, Asy-Syamilah)
12. ‘Azl (mengeluarkan sperma di
luar vagina) dibolehkan, meski lebih baik ditinggalkan.
Karena perkataan Jabir r.a.: “Dulu kami (para sahabat) melakukan ‘azl, di saat Alqur’an masih turun”.
(HR. Bukhori:5209, dan Muslim:1440). Dalam riwayat lain dengan redaksi: “Kami
(para sahabat) dulu melakukan ‘azl di
masa Rosul -shollallohu alaihi wasallam- (masih hidup), lalu kabar itu sampai
kepada beliau, tapi beliau tidak melarang kami”. (HR. Muslim:1440)
Namun, lebih baik meninggalkannya sebagaimana sabda beliau
-shollalloh alaihi wasallam-: “Azl itu pembunuhan yang samar”. (HR.
Muslim, 1442).
13. Setelah malam pertama
menggauli istrinya, disunnahkan pada pagi harinya untuk silaturahimmengunjungi
para kerabatnya yang sebelumnya telah datang ke rumahnya, mengucapkan salam
kepada mereka, mendoakan mereka, dan membalas kebaikan mereka dengan yang
setimpal.
Sebagaimana diterangkan dalam hadits riwayat Anas, ia
mengatakan: “Rosululloh -shollallohu
alaihi wasallam- pernah mengadakan walimah saat malam pertama beliau menggauli
Zainab. Beliau mengenyangkan kaum muslimin dengan roti dan daging, lalu keluar
mengunjungi para ibunda mukminin (isteri-isteri beliau yang lain), untuk
mengucapkan salam dan mendoakan mereka, sebaliknya mereka juga memberikan salam
dan mendoakan beliau. Beliau melakukan hal itu, pada pagi hari setelah malam
pertamanya”. (HR. Bukhori: 4794).
14. Keduanya wajib menggunakan
kamar mandi yang ada di rumahnya, dan
tidak boleh masuk kamar mandi umum, berdasarkan hadits Jabir, Rosul
-shollallohu alaihi wasallam- bersabda:“Barangsiapa
beriman pada Alloh dan hari akhir, maka jangan memasukkan istrinya di kamar
mandi umum!”. (HR. Tirmidzi: 2801, sanadnya
hasan).
Juga hadits riwayat Ummu Darda’, ia mengatakan: Suatu hari, aku
keluar dari kamar mandi umum, lalu Rosul -shollallohu alaihi wasallam-
berpapasan denganku, beliau bertanya: “Wahai Ummu Darda’, dari mana?”. Ummu
Darda’ menjawab: “Dari kamar mandi umum”. Maka beliau mengatakan: “Sungguh,
demi dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidaklah seorang wanita menanggalkan
pakaiannya di selain rumah salah satu ibunya, melainkan ia telah merusak tabir
yang ada antara dia dan Tuhannya yang maha penyayang”. (HR. Ahmad, sanadnya
shohih).
15. Kedua pasangan diharamkan
menyebarkan rahasia kehidupan ranjangnya.
Sebagaimana sabda beliau: “Sungguh, orang yang paling buruk
kedudukannya di sisi Alloh pada hari kiamat nanti, adalah orang yang membuka
(aurat) istrinya dan istrinya membuka (aurat)nya, lalu ia menyebarkannya”. (HR.
Muslim:1437).
Imam Nawawi mengatakan: “Hadits ini menunjukkan haramnya
menyebarkan cerita hubungan suami istri, dan merinci apa yang terjadi pada
istrinya, seperti ucapan, perbuatan dan semisalnya.
Adapun sekedar menyebutkan jima’ (secara global) tanpa ada
manfaat dan tujuan, maka hukumnya makruh, karena itu tidak sesuai dengan
muru’ah (akhlak), padahal beliau -shollallohu alaihi wasallam- telah bersabda:
“Barangsiapa beriman pada Alloh dan hari akhir, maka katakanlah yang baik atau
(jika tidak), maka hendaklah ia diam”.
Tapi jika ia menyebutkan hal itu, karena adanya tujuan dan
manfaat, seperti mengingkari ketidak-sukaannya pada istrinya, atau istrinya
menuduh suaminya impoten, atau semisalnya, maka itu tidak makruh, sebagaimana
ucapan beliau -shollallohu alaihi wasallam-: “Sungguh aku akan melakukannya,
aku dan istriku ini” (HR. Muslim: 350), begitu pula pertanyaan beliau kepada
Abu Tholhah: “Apa malam tadi, kalian telah menjalani malam pertama?” (HR.
Bukhori:5470, dan Muslim:2144), dan pesan beliau kepada Jabir: “Semangat dan
semangatlah” (HR. Bukhori:2097, dan Muslim:715), wallohu a’lam. (lihat Syarah
Shohih Muslm: 1437).
16. Mengadakan walimah (resepsi)
wajib hukumnya setelah menjima’ istri, dengan
dasar hadits Buraidah bin Hushoib, bahwa ketika Ali menikahi Fatimah, beliau
mengatakan: “Pernikahan itu harus ada walimahnya”. (HR. Ahmad:22526, sanadnya la ba’sa bih). Juga sabda beliau kepada Abdur
Rohman bin Auf: “Adakanlah walimah, walau hanya dengan (menyembelih) seekor
kambing!”. (HR. Bukhori:2048, dan Muslim:1427).
17. Beberapa sunnah (tuntunan)
dalam walimah, diantaranya:
Hendaknya
diadakan selama tiga hari, setelah menjima’ istri. Sebagaimana diterangkan
dalam hadits Anas, ia mengatakan: “Nabi -shollallohu alaihi wasallam- dulu
menikahi shofiyah, beliau menjadikan anugerah kemerdekaannya sebagai maharnya,
dan menjadikan walimah berlangsung tiga hari”. (HR. Abu Ya’la, sanadnya hasan)
Hendaknya
mengundang para sholihin, baik yang kaya maupun yang miskin. Sebagaimana sabda
beliau: “Janganlah berteman kecuali dengan orang mukmin, dan janganlah
menyantap makananmu kecuali orang yang bertakwa!”. (HR. Abu Dawud: 4832,
Tirmidzi:2395, dan yang lainnya, sanadnya hasan)
Hendaklah
menyembelih lebih dari satu kambing jika mampu. Sebagaimana sabda beliau:
“Adakanlah walimah, walau hanya dengan (menyembelih) seekor kambing!”. (HR.
Bukhori:2048, dan Muslim:1427).
Dianjurkan
dalam pengadaan walimah, agar dibantu orang kaya dan lebih harta.
Sebagaimana dijelaskan dalam hadits riwayat Anas, yang
menceritakan kisah menikahnya Rosul -shollallohu alaihi wasallam- dengan
Shofiyah, Anas berkata: “…Hingga ketika beliau di tengah perjalanan pulang,
Ummu Sulaim mempersiapkan Shofiyah dan menyerahkannya kepada beliau pada
malamnya, hingga paginya beliau berstatus arus (pengantin
baru). Lalu beliau mengatakan: “Barangsiapa punya sesuatu, maka hendaklah ia
bawa kemari!” (dalam riwayat lain redaksinya: “Barangsiapa punya makanan lebih,
maka hendaklah dia mendatangkannya kepada kami”… Anas berkata: “Beliau pun
menggelar karpet kulitnya, maka mulailah ada orang yang datang dengan keju, ada
yang datang dengan kurma, ada juga yang datang dengan lemak, hingga bisa mereka
jadikan hais.
Kemudian mereka memakannya dan meminum air dari tadahan hujan yang ada di dekat
mereka. Begitulah pelaksanaan walimahnya Rosululloh -shollallohu alaihi
wasallam-. (HR. Ahmad:11581, Bukhori:371, dan Muslim:1365)
Tidak
boleh hanya mengundang yang kaya, dan tidak menyertakan yang miskin.
Sebagaimana sabda beliau: “Seburuk-buruk makanan adalah hidangan walimah yang hanya diperuntukkan bagi
orang-orang kaya, sedang orang-orang miskin dilarang untuk mendatanginya” (HR.
Bukhori:5177, dan Muslim:1432).
Wajib
bagi yang diundang untuk menghadirinya.
Sebagaimana sabda beliau: “Jika salah seorang dari kalian
diundang walimah, maka hendaklah ia menghadirinya!”. (HR. Bukhori:5173, dan
Muslim:1429). Juga sabdanya: “Jika salah seorang dari kalian diundang, maka
hendaklah ia mengharinya, baik itu acara walimah atau pun acara lainnya!”. (HR.
Muslim:1429). Juga sabdanya: “Barangsiapa tidak menghadiri udangan, berarti ia
telah bermaksiat kepada Alloh dan Rosul-Nya”. (HR. Bukhori:5177, dan
Muslim:1432).
Jika
yang diundang tidak puasa, maka hendaklah ia memakan hidangan yang ada. Sedang
jika ia puasa, maka hendaklah ia tetap hadir dan mendoakan yang mengundangnya.
Sebagaimana sabda beliau: “Jika yang diundang itu tidak puasa,
maka makanlah (hidangan yang ada)! Sedang jika ia puasa, maka berdoalah
untuknya!” (HR. Abu Dawud:3736, sanadnya shohih).
Jika
yang diundang sedang puasa sunat, ia boleh membatalkan puasanya untuk makan
hidangan walimah, sebagaimana diceritakan oleh Abu Sa’id Al-Khudri: Aku pernah
membuatkan hidangan untuk Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-, lalu beliau
dan para sahabatnya mendatangi undanganku. Ketika hidangan disajikan, ada salah
seorang berseloroh: “Aku sedang berpuasa”. Maka Rosul -shollallohu alaihi
wasallam- mengatakan: “Saudara kalian ini telah mengundang dan mengeluarkan
biaya untuk kalian”, lalu beliau mengatakan padanya: “Batalkanlah puasamu, dan
qodho’lah di hari lain jika kau menghendakinya!”. (HR. Al-Baihaqi di Sunan
Kubro: 8622, sanadnya hasan).
Tidak
boleh menghadiri undangan walimah, jika ada maksiatnya, kecuali
bila bermaksud mengingkarinya dan berusaha menghilangkan kemaksiatan itu. Jika
maksiatnya bisa hilang, (alhamdulillah), tapi bila tidak, ia harus pulang
meninggalkannya.
Sebagaimana kisah sahabat Ali berikut: Aku pernah membuat
makanan, lalu ku undang Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-, beliau pun
datang. Tapi ketika melihat ada gambar-gambar di rumah, beliau langsung
kembali. Aku bertanya: “Wahai Rosululloh, -bapak dan ibuku kurelakan untuk
menebusmu- apa yang membuatmu pulang lagi?”. Beliau menjawab: “Karena di rumah
itu, ada banyak gambar, padahal para malaikat tidak sudi masuk rumah yang ada
gambar-gambarnya!”. (HR. Ibnu Majah dan Abu Ya’la, sanadnya shohih).
18. Untuk yang diundang
disunatkan melakukan dua hal:
Mendoakan
orang yang mengadakan walimah, setelah selesai. Sebagaimana
diceritakan oleh Abdulloh bin Busr, bahwa bapaknya pernah membuatkan makanan
untuk Nabi -shollallohu alaihi wasallam- dan mengundangnya, maka beliau pun
datang. Selesai makan, beliau mendoakan:
اللَّهُمَّ
بَارِكْ لَهُمْ فِي مَا رَزَقْتَهُمْ وَاغْفِرْ لَهُمْ وَارْحَمْهُمْ
Ya Alloh, berkahilah rizki yang
kau berikan pada mereka, serta ampuni dan rahmatilah mereka. (HR. Ibnu Abi syaibah, Muslim,
dan yang lainnya).
Mendoakan
kedua mempelai dengan kebaikan dan keberkahan. Ada banyak hadits menerangkan
hal ini, diantaranya:
Doa
beliau kepada jabir: “بَارَكَ اللهُ لَكَ” (semoga
Alloh memberkahimu), atau mengatakan kepadanya“خَيْرًا” (semoga engkau diberi limpahan
kebaikan). (HR. Bukhori:5367, dan
Muslim:715).
Doa
beliau kepada Ali: “اللَّهُمَّ بَارِكْ فِيْهِمَا,
وَبَارِكْ لَهُمَا فِيْ بِنَائِهِمَا” (Ya Alloh, berkahilah keduanya,
dan berkahilah hubungan keduanya). (HR. Ibnu Sa’d dan Thobaroni di
Mu’jam Kabir, sanadnya hasan).
Doa
kaum wanita Anshor kepada Aisyah: “عَلَى الْخَيْرِ وَالْبَرَكَةِ,
وَعَلَى خَيْرِ طَائِرٍ” (selamat atas kebaikan, keberkahan,
dan keberuntungan yang besar). (HR.
Bukhori:3894, dan Muslim:1422)
Dari
Abu Huroiroh: bahwa Nabi -shollallohu alaihi wasallam- jika mendoakan orang
yang menikah mengatakan: “بَارَكَ اللهُ لَكَ, وَبَارَكَ
عَلَيْكَ, وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِيْ خَيْرٍ” (semoga Alloh memberikan
keberkahan padamu, menurunkannya atasmu, dan mengumpulkan kalian berdua dalam
kebaikan). (HR. Abu Dawud:2130,
Tirmidzi:1091 dan yang lainnya, sanadnya shohih sesuai kriteria Imam Muslim)
19. Boleh bagi pengantin wanita
melayani tamu laki-laki, jika tidak menimbulkan fitnah dan mengenakan
hijab syar’i.
Sebagaimana hadits Sahl bin Sa’d, ia mengatakan: Ketika Abu
Usaid telah mengumpuli istrinya, ia mengundang Nabi -shollallohu alaihi
wasallam- dan para sahabatnya, maka tidak ada yang membuat dan menyodorkan
hidangan, melainkan istrinya, Ummu Usaid… Pada hari itu, istrinya -yang
pengantin baru itulah- yang melayani tamu laki-laki. (HR. Bukhori:5176, dan
Muslim:2006).
20. Boleh juga mengijinkan para
wanita untuk mengumumkan pernikahan dengan menabuh duff(rebana)
saja, dan melantunkan nyanyian yang dibolehkan (asal baitnya tidak bercerita
kecantikan dan kata-kata kotor).
Rubayyi’ binti Mu’awwidz mengatakan: Nabi -shollallohu alaihi wasallam- pernah
menemuiku di pagi hari malam pertamaku, lalu beliau duduk di atas ranjangku
seperti posisimu denganku (sekarang ini), di saat itu ada banyak anak kecil
wanita menabuh duff,
mengenang bapak-bapak mereka yang gugur di perang badr, hingga salah seorang
anak wanita itu ada yang mengatakan: “Di sisi kita ada Nabi yang tahu hari
esok”. Maka Nabi -shollallohu alaihi
wasallam- menegurnya: “Jangan berkata
seperti itu, tapi katakanlah apa yang kau ucapkan sebelumnya”. (HR.
Bukhori:4001)
21. Hendaklah berusaha
meninggalkan hal yang dilarang syariat, terutama ketika
acara pernikahan, misalnya:
Memajang
gambar yang bernyawa di dinding.
Rosul -shollallohu alaihi
wasallam- bersabda: “Sungguh, rumah yang ada gambarnya tidak dimasuki
para malaikat “. (HR. Bukhori: 2105, dan Muslim: 2107)
Aisyah mengatakan: Rosul -shollallohu
alaihi wasallam- pernah masuk menemuiku, saat itu
aku menutupi lemari kecil dengan kain tipis yang bergambar, [dalam riwayat lain
redaksinya: "yang bergambar kuda bersayap"]. Melihat itu, beliau
langsung merobeknya, dan berubah raut wajahnya. Beliau mengatakan:
“Sesungguhnya orang yang paling pedih adzabnya di hari kiamat adalah, mereka
yang menyaingi ciptaan Alloh” Aisyah mengatakan: Akhirnya kain itu ku potong
dan kujadikan satu atau dua bantal. (HR. Bukhori: 5954, dan Muslim: 2107).
Syeikh
Albani berpendapat haramnya menutup dinding rumah dengan kain, meski bukan
dengan sutra, karena itu termasuk isrof dan hiasan yang tidak sesuai
syariat. Rosul -shollallohu alaihi
wasallam- bersabda:
إِنَّ
اللَّهَ لَمْ يَأْمُرْنَا أَنْ نَكْسُوَ الْحِجَارَةَ وَالطِّينَ
Sesungguhnya Alloh tidak menyuruh
kita untuk menutupi batu dan tanah. (HR. Muslim: 2106)
Imam Nawawi mengatakan: “Para ulama memakai hadits itu sebagai
dalil larangan menutup dinding dan lantai dengan kain, larangan itu adalah karohah tanzih, bukan larangan yang
mengharamkan, dan inilah pendapat yang benar. Sedang Syeikh Abul Fath Nashr
Al-Maqdisi dari sahabat kami (madzhab syafi’i) berpendapat haramnya hal itu.
Tapi, dalam hadits ini tidak ada yang menunjukkan keharamannya, karena hakekat lafalnya:
“Alloh tidak menyuruh kita melakukan itu”, ini berarti bahwa hal itu tidak
wajib dan tidak sunat, dan tidak menunjukkan pengharaman sesuatu, wallohu
a’lam. (Syarah Shohih Muslim, hadits no: 2106)
Mencabut
alis dan lainnya, karena Rosul -shollallohu alaihi wasallam- telah melaknat orang yang
berbuat demikian. (HR. Bukhori: 4886, dan Muslim: 2125)
Mewarnai
kuku dengan cat (sehingga menutupi jalannya air wudhu). Adapun sunnahnya adalah
mewarnainya dengan hinna’.
Memanjangkan
kuku, karena itu bertentangan dengan fitrah. Rosul bersabda: “Lima hal termasuk
fitrah: “Khitan, mengerik bulu kemaluan, mencukur kumis, memotong kuku, dan
mencabut bulu ketiak” (HR. Bukhori: 5889, dan Muslim: 257).
Rosululloh juga melarang kita membiarkannya lebih dari 40 malam,
sebagaimana perkataan Anas bin Malik:
وُقِّتَ
لَنَا فِي قَصِّ الشَّارِبِ وَتَقْلِيمِ الْأَظْفَارِ وَنَتْفِ الْإِبِطِ وَحَلْقِ
الْعَانَةِ أَنْ لَا نَتْرُكَ أَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً
Kami diberi batasan waktu untuk:
Menyukur kumis, memotong kuku, mencabuti ketiak, dan mengerik bulu sekitar
kemaluan, (yakni) agar kami tak membiarkannya lebih dari 40 malam. (HR. Muslim: 258)
Mencukur
jenggot, karena memelihara jenggot itu wajib hukumnya, sebagaimana sabda
beliau: Cukur-tipislah kumis dan panjangkanlah jenggot, selisilah kaum majusi!.
(HR. Muslim: 260)
Mempelai
pria mengenakan cincin tunangan dari emas. Rosul -shollallohu alaihi wasallam-
bersabda:
حُرِّمَ
لِبَاسُ الْحَرِيرِ وَالذَّهَبِ عَلَى ذُكُورِ أُمَّتِي وَأُحِلَّ لِإِنَاثِهِمْ
Pakaian sutra dan emas diharamkan
untuk umatku yang laki-laki, dan dihalalkan untuk mereka yang wanita. (HR. Tirmidzi: 1720, dishohihkan
oleh Albani)
22. Wajib hukumnya memperlakukan
istri dengan baik, dan
menuntunnya kepada hal-hal yang halal, khususnya bila istrinya masih muda.
Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-
bersabda: “Sebaik-baik kalian, adalah yang paling baik terhadap istrinya, dan
aku adalah orang yang paling baik diantara kalian terhadap istriku” (HR.
Tirmidzi: 3895, dishohihkan Albani)
Beliau juga bersabda: “Berilah nasehat baik pada wanita (istri),
karena mereka itu tawananmu”. (HR. Tirmidzi: 1163, Ibnu Majah: 1851, dan yang
lainnya. Dihasankan oleh Albani)
Beliau juga bersabda: “Janganlah lelaki mukmin membenci wanita
mukminah (istrinya), karena jika dia benci salah satu tabiatnya, pasti ada hal
lain yang ia suka” (HR. Muslim: 1469).
Aisyah mengisahkan: Suatu hari Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- pulang dari perang tabuk atau
perang khoibar. (Saat itu) lemari kecil Aisyah tertutup tirai, lalu berhembuslah
angin, yang menyingkap tirai itu, sehingga terlihatlah banyak mainan boneka
wanita milik Aisyah. Beliau bertanya: “Apa ini, wahai Aisyah?”, ia menjawab:
“Anak-anak perempuanku”. Diantara mainannya itu beliau juga melihat ada boneka
kuda bersayap dua yang terbuat dari kain, lalu mengatakan: “Kalau yang di
tengah ini apa?”, ia menjawab: “itu kuda”, beliau menimpali: “terus apa yang
diatasnya?”, ia menjawab: “dua sayapnya”, beliau mengatakan: “kuda mempunyai
dua sayap?”, ia menjawab: “bukankah engkau pernah mendengar bahwa Nabi Sulaiman
memiliki kuda bersayap?!”. (Mendengar itu) beliau langsung tersenyum hingga
kulihat gigi-gigi gerahamnya. (HR. Abu Dawud: 4932 dan yang lainnya, sanadnya hasan).
23. Sebaiknya suami membantu
pekerjaan rumah istrinya, bila
ada waktu senggang dan tidak sedang lelah. Sebagaimana disebutkan Aisyah:
“Dahulu beliau -shollallohu alaihi wasallam-
biasa membantu istrinya, dan beliau pergi untuk sholat bila tiba waktunya”.
(HR. Bukhori: 676). Aisyah juga mengatakan: “Beliau itu manusia seperti yang
lainnya, mencuci pakaiannya, memerah kambingnya, dan membantu istrinya”. (HR.
Ahmad: 25662, sanadnya kuat)
24. Pesan-pesan untuk kedua
mempelai:
Hendaklah
keduanya ta’at kepada Alloh dan saling mengingatkan untuk itu. Hendaklah
keduanya menjalankan syariat-Nya yang tetap dalam Qur’an dan Sunnah, dan tidak
meninggalkannya hanya karena taklid, atau adat masyarakat, atau madzhab
tertentu, Alloh berfirman:
وَمَا
كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ
يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
Dan tidaklah pantas bagi mukmin
dan mukminah, apabila Alloh dan Rosul-Nya telah menetapkan suatu hukum dalam
urusan mereka, untuk memilih (pilihan lainnya), karena barangsiapa mendurhakai
Alloh dan Rosul-Nya, sungguh ia telah tersesat dengan kesesatan yang nyata. (Al-Ahzab: 36).
Hendaklah
keduanya menjaga hak dan kewajiban masing-masing. Maka janganlah istri menuntut
suaminya hak yang sama dalam segala hal! Sebaliknya, janganlah suami
memanfaatkan harta dan posisinya sebagai kepala rumah tangga, untuk mendholimi
istrinya, seperti memukulnya tanpa ada sebab syar’i. Alloh azza wajall
berfirman:
وَلَهُنَّ
مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ
وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Para istri itu memiliki hak yang
seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang patut, dan para suami itu
memiliki kelebihan di atas mereka. Dan Alloh adalah maha perkasa lagi maha
bijaksana. (Al-Baqoroh:
228)
Mu’awiyah bin Haidah bertanya: “Wahai Rosululloh, apa hak istri
atas suaminya?” Beliau menjawab: “Yaitu, memberinya makan dan sandang jika
memintanya, tidak mengatakan‘Qobbahakilloh’ (semoga Alloh menjadikanmu
buruk), tidak memukul wajahnya, [tidak mendiamkannya kecuali di dalam
rumahnya]“. (HR. Abu Dawud: 2142, dan Ahmad: 19541).
Rosul juga bersabda: “Orang yang adil akan menduduki singgasana
dari cahaya diatas tangan kanan Alloh yang maha penyayang, dan kedua tangan-Nya
itu kanan, yaitu mereka yang adil dalam mengatur kekuasaannya, keluarganya, dan
tanggung jawab yang serahkan padanya. (HR. Muslim: 1827).
Bila keduanya tahu hal ini dan menerapkannya dengan baik,
niscaya Alloh akan menjadikan hidup keduanya baik, tentram, bahagia. Alloh
berfirman:
مَنْ
عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ
حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا
يَعْمَلُونَ
Barangsiapa melakukan kebajikan
dalam keimanan, baik laki-laki maupun perempuan, pasti Kami berikan padanya
kehidupan yang baik, dan Kami pasti membalas mereka dengan pahala yang lebih
baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (An-Nahl:
97)
25. Sabda Nabi -shollallohu
alaihi wasallam- khusus untuk sang istri:
إذا
صلت المرأة خمسها وحصنت فرجها وأطاعت بعلها دخلت من أي أبواب الجنة شاءت
Bila perempuan mendirikan
sholatnya, menjaga kehormatannya, dan mentaati suaminya, ia pasti masuk surga
dari pintu manapun ia kehendaki. (HR.
Thobaroni, sanadnya hasan)
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ
وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا
يَكْرَهُ
Abu Hurairoh mengatakan:
Rosululloh pernah ditanya: “Siapa wanita yang paling baik?”, beliau menjawab:
“Yaitu wanita yang menyenangkan bila suaminya memandangnya, mentaati bila
diperintah, dan ia tidak menyelisihi suaminya karena sesuatu yang dibencinya,
baik dengan diri maupun hartanya”(HR. Nasa’i: 3231 dan yang
lainnya, dishohihkan oleh Albani)
قَالَ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ
مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ
Rosul -shollallohu alaihi
wasallam- bersabda: “Seluruh dunia ini adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan
adalah wanita yang sholihah”. (HR.
Muslim: 1467)
عَنِ
الْحُصَيْنِ بْنِ مِحْصَنٍ، أَنَّ عَمَّةً لَهُ أَتَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَاجَةٍ، فَفَرَغَتْ مِنْ حَاجَتِهَا، فَقَالَ لَهَا
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَذَاتُ زَوْجٍ أَنْتِ؟ قَالَتْ:
نَعَمْ. قَالَ: كَيْفَ أَنْتِ لَهُ؟ قَالَتْ: مَا آلُوهُ إِلَّا مَا عَجَزْتُ
عَنْهُ. قَالَ: فَانْظُرِي أَيْنَ أَنْتِ مِنْهُ فَإِنَّمَا هُوَ جَنَّتُكِ
وَنَارُكِ
Dari Hushoin bin Mihshon: bahwa
bibinya pernah menemui Rosululloh shollallohu alaihi wasallam- karena
suatu keperluan, setelah selesai beliau bertanya: “Apa anda bersuami?”. “Ya”,
jawabku. “Bagaimana sikapmu terhadapnya?” tanya beliau. “Aku bersungguh-sungguh
di dalam (menaati dan melayani)-nya, kecuali pada hal yang tidak ku mampui”,
jawabku. Maka beliau mengatakan: “Lihatlah bagaimana hubunganmu dengannya!
karena suamimu itu surga dan nerakamu”. (HR.
Ahmad: 18524 dan yang lainnya, sanadnya shohih)
قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَصُمْ الْمَرْأَةُ
وَبَعْلُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ وَلَا تَأْذَنْ فِي بَيْتِهِ وَهُوَ
شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ
Janganlah istri berpuasa selain
Romadhon saat suaminya bersamanya, kecuali dengan izinnya. Istri juga tidak
boleh mengijinkan orang lain masuk rumah, kecuali dengan izin suaminya. (HR. Muslim: 1026)
إذا
دعا الرجل امرأته إلى فراشه فلم تأته فبات غضبان عليها لعنتها الملائكة حتى تصبح
[وفي رواية : حتى ترجع] [وفي أخرى: حتى يرضى عنها]ـ
Jika suami mengajak istrinya ke
ranjang, tapi ia tidak menurutinya hingga suaminya marah, maka para malaikat
melaknatnya “hingga pagi tiba“ (HR.
Bukhori: 3237, dan Muslim: 1436)… [dalam riwayat lain: "hingga ia kembali (menurutinya)"]
(HR. Bukhori: 5194, dan Muslim: 1436)… [dalam riwayat lain: "hingga si suami merelakannya"] (HR.
Muslim: 1736).
لَوْ
كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ
تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا
Seandainya aku boleh menyuruh
seseorang untuk sujud kepada orang lain, tentu aku sudah menyuruh istri untuk
sujud kepada suaminya. (HR.
Abu Dawud: 2140, Tirmidzi: 1159, Ibnu Majah: 1853, Ahmad: 18913, dan yang
lainnya, dishohihkan Albani)
وَلَا
تُؤَدِّي الْمَرْأَةُ حَقَّ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْهَا كُلَّهُ حَتَّى
تُؤَدِّيَ حَقَّ زَوْجِهَا عَلَيْهَا كُلَّهُ، حَتَّى لَوْ سَأَلَهَا نَفْسَهَا
وَهِيَ عَلَى ظَهْرِ قَتَبٍ لَأَعْطَتْهُ إِيَّاهُ
Dan seorang istri tidak akan
memenuhi hak Alloh atasnya dengan sempurna, hingga ia memenuhi hak suaminya
dengan sempurna, hingga seandainya si suami meminta dirinya saat di pelana,
maka ia tidak menolak ajakannya. (HR.
Ahmad: 18913, dan yang lainnya, dishohihkan Albani)
لا
تؤذي امرأة زوجها في الدنيا إلا قالت زوجته من الحور العين: لا تؤذيه قاتلك الله
فإنما هو عندك دخيل يوشك أن يفارقك إلينا
Tidaklah seorang istri menyakiti
suaminya ketika di dunia, kecuali istrinya dari kalangan bidadari mengatakan
padanya: “Janganlah engkau menyakitinya, qootalakillah, karena suamimu itu
sebenarnya tamu, yang sebentar lagi meninggalkanmu untuk menemui kami”. (HR. Ahmad: 21596, Tirmidzi:
1174, dan Ibnu Majah: 2014, dishohihkan Albani)
Alhamdulillah… selesai sudah ringkasan ini… semoga bermanfaat
bagi para pembaca… dan kurang lebihnya kami mohon maaf… wassalam…
Madinah, 8 Romadhon 1430 / 29 Agustus 2009
Dibaca ulang dan diteliti kembali oleh Saiful Abu Zuhri