Minggu, 03 November 2013

Sifat Shalat Nabi Shalallahu'alaihi wa sallam


Sejarah Ringkas Abul Fida Ibnu Katsir 701-774/1302-1373 M




Kehidupan Beliau:
Al-Hafizh Ibnu Katsir dilahirkan pada permulaan abad kedelapan hijriyyah. Beliau mengisahkan sendiri dalam Al Bidayah, mengenang berbagai kejadian pada tahun 701: “pada masa itulah dilajirkan penulis buku ini(Al Bidayah), Ismail bin Umar bin Katsier Al-Qurasy Al-Bushrawi Asy-Syafi’I, semoga Allah memberikan ampunan kepadanya.”

       Kota kelahiran Ibnu Katsir adalah Mujaidil Al-Qaryah, masih termasuk wilayah Bushra, di Syam. Yakni kampung kelahiran ibunda beliau juga, Maryam binti Faraj bin Ali. Ayahnya sendiiri pernah menjabat sebagai khatib di kota tersebut. Ia sempat tinggal disana cukup lama sekali dalam kemakmuran, berkecukupan namun tetap rajin membaca. Ibnu katsir telah menceritakan kepada kami tentang nasab dan hal ihwal beliau, saat beliau mengenang wafat ayahandanya tahun 703: “Di kota itulah ayahku meninggal, Al-Khatib, Syihabuddien, Abu Hafsh, Umar bin katsier bin Dhawwin bin Dar’ Al-Qurasyi, dari (suku) Bani Haslah. Mereka dikenal sebagai orang-orang terhormat dan memilki nasab yang baik. Sebagian diantaranya sempat diketahui oleh Syaikh Al-Mizzi, dan beliau amat tertarik dan terkesan dengan nasab tersebut. Akhirnya karena hal itu beliau menuliskan nasab Al-Qurasyi pada nasabku.”kemudian Ibnu Katsir menyebutkan keluarganya sesudah itu sempat pindah ke Damaskus, untuk menemani saudara kandungnya Abdul wahhab pada tahun 707 H. Ibnu katsir menceritakan: “Ia saudara kandung kami, dan dia juga teman setia yang sayang kepada kami. Ia meninggal dunia di usia lanjut pada tahun 750-an. Melalui beliau aku banyak menimba ilmu. Dengan jasa beliau Allah memberikan kemudahan kepadaku untuk menuntut ilmu, dan melapangkan jalan yang terasa sulit bagiku.”
      Di Damaskus, Ibnu Katsir berjumpa dengan salah seorang ulama besar. Damaskus kala itu memang menjadi markas besar ilmu di dunia Islam. Di kota ini terdapat majelis-majelis hafalan Al-Qur’an, lembaga-lembaga pendidikan seperti sekolah-sekolah dan masjid-masjid. Ibnu Katsir banyak mengambil pelajaran dari pertemuaannya dengan tokoh-tokoh di masanya. Gurunya yang paling berpengaruh dalam kehidupan beliau dan dalam orientasi pemikiran beliau adalah Syaikh Al-Hafizh Abul Hajaj Al-Mizzi yang mengangkatnya sebagai menantu sehingga beliau bias menikahi putrinya, Zainab. Persahabatan dan hubungab dekat beliau dengan Al-Mizzi banyak member pengaruh yang jelas pada tulisan-tulisan beliau. Tak lama setelah perkenalan beliau dengan Al-Mizzi, beliau sudah menjadi tokoh ulama yang mensejajari tokoh-tokoh di Damaskus. Para murid berdatangan kepada beliau. Sebagaimana diceritakan oleh An-Nua’imi, beliau berhasil menjabat Syaikh di Ummu Shalih, setelah wafatnya Syaikh di lembaga pendidikan itu, yaitu Adz-Dzahabi (748 H). Beliau juga menjadi Syaikh di lembaga pendidikan itu, Syaikh Taqiyuddien As-Subki (683-756) H. Namun itu hanya berlangsung sebentar, jabatan itu kemudian diambil lagi dari beliau.
Ibnu Katsir memiliki empat orang putra: Umar (wafat 783 H), Ahmad (lahir 765, Wafat 801 H) dan Muhammad (lahir 759, dan wafat 803 H) dan Abdul Wahhab (lahir 767 dan wafat 840). Tiga anaknya yang pertama, diceritakan biografinya oleh Ibnu Hajar dalam kitab Inbaa-ul ghumur 2/75, 4/39, 321-322. Sementara tiga yang lain diceritakan oleh As-Sakhawi kitab Ad Dhau Al-Lamie’ pada tahun 1/243,7/138,5/98. Ahmad sendiri tidak dikenal sebagai ulama. Adapun anak-anak beliau yang lain, sempat mempelajari banyak riwayat, dan banyak juga ulama yang meriwayatkan hadits dari mereka. Muhammad sendiri sempat menulis sejarah berbagai hal yang terjadi di jamannya.
Berkaitan dengan aqidahnya, para ulama menyebutkan bahwa beliau adalah orang yang lurus pemahaman agamanya dan beraqidah salafi. Besar kemungkinan itu pengaruh dari persahabatan beliau sebelumnya dengan syaikh beliau, Abul Abbas Ahmad Ibnu Taimiyyah, juga karena beliau banyak belajar dari syaikh Al-Mizzi, yang juga mertuanya, serta guru-guru beliau yang lain, sehingga beliau dikenal dengan itu. Pernah juga terjadi konflik antara beliau dengan Burhanuddien Ibnu As-Syaikh Syamsuddin yang dikenal dengan Ibnul Qayyim (719-767) yang diceritakan oleh An-Nu’aimi: “Beliau memiliki jawaban-jawaban yang tidak terbantahkan lagi. Ibnu Qayyim juga pernah terlibat debat dengan Ibnu katsir dalam sebuah pertemuan. Ibnu katsir bertanya: “Apakah engkau membenciku karena aku seorang Asy’ari?” Ibnul Qayyim menjawab: “Kalaupun seandainya dari mulai kepalamu hingga telapak kakimu tumbuh sya’r (rambut), semua orang tetap tidak akan percaya bahwa engkau adalah Asy’ari. (lihat Ad Daaris 1/89). Di sini harus betul-betul dipahami ucapan Ibnu Katsir, bahwa ucapannya itu bukanlah pengakuan bahwa beliau beraqidah Asy’ariyyah. Artinya: “Saya tidak mendapatkan sebab kenapa engkau membenciku, kecuali persangkaanmu bahwa aku adalah Asy’ari!!!” Burhanuddin lalu menjawab: “Siapa yang menyangka engakau demikian?”
Adapun madzab beliau dalam fiqh, beliau bermadzab Syafi’iyyah. Nanti akan dijelaskan kepada pembaca, saat kita berbicara tentang tulisan-tulisan beliau.
Allah mewafatkan beliau pada bulan Sya’ban tahun 774 H, dan dikebumikan di pekuburan Ash Shufiyyah, di sisi Syaikh beliau Ibnu Taimiyah. Semoga Allah memberikan kepada beliau rahmat yang luas…
Para Guru Beliau:
Ilmu hadits lebih banyak mendominasi Ibnu Katsir.beliau telah banyak bertemu dengan para guru di bidang hadits. Oleh sebab itu berbagai tulisannya banyak berkutat seputar ilmu hadits dan ibarat distempel dengan ilmu hadits, meskipun tulisan-tulisan itu berkaitan dengan tafsir atau fiqh, sebagaimana akan kita jelaskan nanti saat memaparkan berbagai tulisan dan risalah beliau. Ibnu Hijji sendiri selaku murid beliau menggambarkannya: “Ia adalah orang yang paling hapal terhadap matan hadits yang pernah kami jumpa, paling mengerti takhrij-nya dan para perawinya, diantara yang shahih dan yang dha’if. Teman-teman seangkatan dan para guru-gurunya sudah mengakui hal itu. Ia dapat menyampaikan banyak hal tentang tafsir dan sejarah serta jarang sekali lupa. Ia seorang ahli fiqh dan berpemahaman baik, bagus agamanya, selalu menghidupkan malam hingga akhir waktu, memiliki kemampuan bahasa Arab yang bagus sekali dan pandai menggubah syair. Tak bisa kuhitung berapa kali aku berjumpa dan menemuinyadalam banyak waktu, aku selalu bisa mengambil ilmu darinya."


(Tulisan ini terhenti dikarenakan tulisan ini dulu aku menyalinnya dari buku salah seorang ikhwan di jogja, buku itu judulnya “Ringkasan Sirah Nabi” terjemahan pustaka at Tibyan dan sekarang aku tidak lagi tinggal di jogja, mudah-mudahan Allah memberikan kemudahan kepadaku untuk memiliki buku itu)