Minggu, 14 April 2013

Taubat






Taubat adalah kalimat yang agung, tidak sebagaimana dipahami kebanyakan orang. Orang yang bertubat berarti kembali ke jalan Allah, kembali menjalankan ketaatan dan menjauhi larangan-Nya. Ketahuilah! Alloh maha menerima taubat seorang hamba, oleh karena itu sudah semestinya bagi setiap anak Adam yang dilahirkan di muka bumi ini untuk bertaubat kepada-Nya, karena tidak ada seorangpun yang selamat dari dosa dan kesalahan. Allohu Musta’an.



A.      DEFINISI TAUBAT
Taubat secara bahasa diambil dari kata taaba-yatuubu yang bermakna kembali. Sedangkan menurut istilah para ulama mendefinisikannya dengan ungkapan yang beragam, berikut sebagian perkataan mereka.
Imam Ibnul Qayyim berkata: “Taubat adalah seorang hamba kembali ke jalan Alloh, dan menjauhi jalan orang-orang yang dimurkai lagi tersesat.” (Madarijus Salikin 1/199)
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata,”Taubat adalah meninggalkan dosa, menyesali atas perbuatannya dan bertekad untuk tidak mengulangi kembali, serta mengembalikan hak orang yang didzolimi jika dosanya berhubungan sesama manusia.” (Fathul Bari 11/123)
Syaikh Ibnu Utsaimin berkata,”Taubat adalah kembali dari kemaksiatan menuju ketaatan kepada-Nya.” (Syarah Riyadhus Shalihin 1/74)

B.      URGENSI TAUBAT
Taubat merupakan hakekat agama islam, seluruh sendi agama masuk dalam ruang lingkup taubat. Orang yang bertaubat berhak menjadi kekasih Alloh, karena memang Alloh mencintai orang-orang yang bertaubat lagi menyucikan diri. Alloh mencintai orang-orang yang mengerjakan perintah dan menjauhi larangan-Nya.
Imam Ibnul Qayyim berkata,”Urgensi taubat merupakan urgensi yang pertama, pertengahan dan terakhir, tidaklah seorang hamba mampu meninggalkannya, bahkan ia akan senantiasa butuh hingga akhir hayatnya. Maka taubat merupakan awal dan akhir dari kehidupan seorang hamba, kebutuhannya kepada taubat di akhir hidupnya sangat mendesak, sebagaimana pada awalnya. Alloh berfirman:
“Dan bertubatlah kamu sekalian kepada Alloh, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”. (QS. An-Nur : 31)
Lanjut pula: “Di dalam ayat ini, Alloh mengajak bicara orang yang beriman dan orang-orang pilihan untuk bertaubat kepada-Nya, setelah keimanan, kesabaran, hijrah dan jihad yang mereka lakukan. Alloh menghubungkan keberuntungan dengan taubat, sebagai hubungan sebab akibat. Kemudian mendatangkan kalimat “supaya” sebagai harapan bagi mereka, yaitu jika kalian bertaubat maka kalian akan beruntung, tidak ada yang berharap keberuntungan kecuali orang-orang yang bertaubat. Semoga Alloh menjadikan kita termasuk diantara mereka.” (Madarijus Salikin 1/198)
Berkata Imam Nawawi,”Taubat merupakan pondasi islam sangat urgen, jalan pembuka bagi orang yang menempuh kampong akherat.” (Syarah Shahih Muslim 17/191)

Akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui kedudukan taubat dan hakekatnya, lebih-lebih untuk mengilmui dan mengamalkan. Alloh  tidak menjadikan kecintaannya kepada orang-orang yang bertaubat kecuali karena mereka orang-orang yang istimewa disisi-Nya.
Andaikan taubat bukan nama yang universal bagi syariat islam dan inti keimanan, maka Alloh tiddak akan senang dengan taubatnya seorang hamba dengan kesenangan yang agung. (Majmu’ Rosail Tujihat Islamiyyah 2/301)

C.      HAKEKAT TAUBAT
Hakekat taubat adalah kembali kepada Alloh dengan mengerjakan yang diwajibkan dan meninggalkan yang dilarang, kembali dari yang dibenci menuju kepada yang dicintai.
Imam Ibnul Qayyim berkata: “Hakekat taubat adalah dengn menyesali dosa yang telah lalu, meninggalkan seketik itu juga dan bertekad kuat untuk tidak mengulangi kembali  di masa yang akan datang.” (Madarijus Salikin 1/202)
Permulaannya addalah dengan menyesal, kemudian diiringi dengan tekad kuat untuk meninggalkannya, menyadari bahwa kemaksiatan adalah tabir penghalang antara seorang hamba dengan Robbnya. Ia akan bergegas untuk menuju jalan keselamatan, inilah jalan yang ditempuh oleh orang-orang ynag bertaubat, kembali ke jalan Alloh dari kubangan dosa. Dia mengakui dosanya, lalu bertaubat dengan, ikhlas dan istiqomah dalam ketaatan, yang membawanya menjadi wali Alloh yang bertaqwa, ketaatan yang menghalangi jalan setan. (Bahjatun Nazhirin 1/50)
D.      HUKUM TAUBAT
Berkata Imam Nawawi-rahimahullah-:”Para ulama mengatakan bahwa taubat adalah wajib dari setiap dosa.” (Riyadus shalihin hlm. 46-Takhrij Syaikh Al albani-).
Imam Syaukani-rahimahullah- berkata: “Sungguh umat ini telah bersepakat akan wajibnya taubat bagi setiap mukmin.” (Fathul Qodir 1/438)
Imam Ibnul Qayyim berkata: “Bersegera untuk bertaubat dari dosa adalah wajib, tidak boleh diakhirkan, kapan saja diakhirkan maka ia telah bermaksiat.” (Madarijus Salikin 1/297)

E.       TAUBAT DALAM AL-QUR’AN DAN AS-SUNNAH
Banyak sekali ayat-ayat Alloh dan hadits Nabi shalallahu’alahi wa sallam yang memerintahkan supaya kita taubat, Alloh berfirman:
Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Alloh, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (Qs. An-Nur: 31)
Berkata Syaikh Abdurrahman As-Sa’di-rahimahullah-: ”Firmannya “Supaya kamu beruntung” yaitu tidak ada jalan menuju keberuntungan kecuali dengan taubat, taubat adalah dengan kembali dan menjauhi yang dibenci Alloh secara lahir dan bathin, menuju kepada yang dicintai oleh Alloh lahir dan bathin. Oleh karenanya setiap mukmin pasti butuh bertaubat. Ayat ini pula berisi anjuran untuk ikhlas karena Alloh berfirman “Bertaubatlah kamu sekalian kepada Alloh” yaitu tidak ada tujuan lain selain mencari wajah-Nya, selamat dari riya’, sum’ah dan tujuan lain yang merusak.” (Taisir Karimir Rahman hlm. 516)
Orang yang tidak bertaubat adalah orang zholim, Alloh berfirman: “Dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka itulah orang-orang zholim. (Qs. Al-Hujurat: 11)
Seorang hamba hanya terbagi dua; orang yang bertaubat dan yang zholim dan tidak ada pembagian yang ketiga. Alloh menyandarkan orang yang zholim bagi orang yang tidak bertaubat. Tidak ada yang lebih zholim pada dirinya, karena kebodohan terhadap hak Robbnya, aib diri sendiri dan amalannya.” (Madarijus Salikin 1/199).
Demikian pula Rasulullah shallahu’alahi wa sallam pernah bersabda:
Sesungguhnya Alloh membentangkan tangan-Nya di malam hari, agar bertaubat orang yang berbuat dosa di siang hari. Dan membentangkan tangan-Nya di siang hari agar bertaubat pelaku dosa di malam hari, hingga matahari terbit dari barat. (HR. Muslim 2759)
Sabdanya yang lain:
Wahai sekalian manusia bertaubatlah kalian kepada Alloh, sessungguhnya aku bertaubat kepada-Nya seratus kali dalam sehari. (HR. Muslim 2702)
Ibnu Qudamah berkata,”Hadits-hadits dalam masalah ini sangat banyak sekali, juga para ulama telah bersepakat akan wajibnya taubat, karena dosa itu hanyalah membinasakan dan menjauhkan dari Alloh, maka wajib meninggalkannya dengan segera. Lanjutnya lagi: “Taubat itu wajib dilakukan terus menerus, karena manusia tidak akan luput dari maksiat, andai selamat dari maksiat anggota badan, maka tidak akan selamat dari kehendak hati untuk berbuat dosa, kalau pun ia selamat dar hali itu, maka ia tidak akan pernah lolos dari was-was setan yang selalu menghembuskan niat jahat untuk melalaikannya dari dzikrulloh. Anggaplah lagi ia selamat dari hal itu, akan tetapi ia tidak akan selamat dari kelalaian dan kekurangan dalam ilmu kepada Alloh, sifat dan perbuatatannya, semua itu adalah kekurangan, tidak ada seorang pun yang selamat dari kekurangan ini.” (Mukhtasar Minhajul Qashidin hlm. 374-Ridwan Jami’ Ridwan-).

F.       SYARAT TAUBAT
Taubat adalah ibadah yang agung, oleh karena itu para ulama telah menjelaskan syarat-syarat taubat, agar taubat seorang hamba dapat di terima disisi-Nya.
1.       Ikhlas
Orang yang bertaubat hendaknya hanya  mencari wajah-Nya dan berharap agar taubatnya diterima disisi Alloh Ta’ala, jangan sampai terbetik di hatinya keinginan dilihat manusia atau perhatian dari mereka. Dalil-dalil dalam Al-Qur’an dan hadits dalam masalah ini sangat banyak sekali.
Imam Qurthubi-rahimahullah-berkata: “Tidak sah taubat kecuali dengan keikhlasan, barangsipa yang meninggalakan dosa karena selain Alloh, maka bukan termasuk orang yang bertaubat menurut kesepakatan ulama.” (Fathul Bari 11/124).
2.       Menyesali dosanya
Imam Ibnul Qoyyim-rahimahullah-berkata: “Adapun menyesali dosa, sesungguhnya taubat tidak akan terealisasi kecuali dengan yang demikian, karena barangsiapa yang tidak menyesal atas dosa, maka hal itu sebagai indikasi keridhoan dan keinginannya untuk terus melakukan.” (Madarijus Salikin 1/202).
Ibnu Qudamah-rahimahullah-berkata: “Ketahuilah bahwa taubat adalah ungkapan dari penyesalan yang membawa pada tekad dan kehendak untuk meninggalkan dosa, meghantarkan pada pengetahuan bahwa kemaksiatan adalah penghalang antara insane dengan Robbnya.” (Mukhtasar Minhajul Qoshidin hlm. 385)
3.       Meninggalkan dosa
Suatu hal yang mustahil bila taubat dengan tetap terus-menerus berkubang dalam dosa, maka setiap insane yang bertaubat hendaklah ia meninggalakan dosa yang ia lakukan, jika tidak demikian maka taubatnya tertolak tidak berarti disisi Alloh Ta’ala. (Syarah Riyadush Shalihin 1/76).
4.       Bertekad untuk tidak mengulangi dosanya kembali
Orang yang bertaubat hendaklah menanamkan tekad yang kuat dalam hati untuk tidak mengulangi kembali dosanya dimasa yang akan datang. Dengan niat dan keinginan yag kuat inilah ia akan selamat dari kubangan dosa yang menimpanya.
5.       Bertaubat pada waktunya
Hendaklah seorang hamba bertaubat dengan segera, sebelum Alloh Ta’ala menutup pintu taubat. Taubat menjelang ajalnya, atau ketika matahari terbit dari barat tidakah berarti disisi Alloh. Alloh Ta’ala berfirman :
Sesungguhnya taubat di sisi Alloh hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Alloh taubatnya; dan Alloh maha mengetahui lagi maha bijaksana. Dan tidaklah taubat itu diterima Alloh dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan hingga apabila datang ajal kepada seseorang diantara mereka barulah ia mengatakan: “sesungguhnya saya bertaubat sekarang” dan tidak pula diterima taubat orang-orang yang mati sedang mereka dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah kami sediakan siksa yang pedih. (Qs. An-Nisa: 17-18)
Rasulullah shalallahu’alahi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang bertaubat sebelum matahari terbit dari barat, maka Alloh akan menerima taubatnya.” (HR. Muslim 2703)
Rasulullah shalallahu’alahi wa sallam juga bersabda: “Sesungguhnya Alloh menerima taubat seorang hamba selama belum sekarat matinya.” (HR. Tirmidzi 3537, Hasan lihat Al Misykah 2343)
6.       Mengembalikan hak orang yang di zholimi
Maksudnya jika dosa yang dilakukan berhubungan dengan manusia, maka hendaklah ia mengembalikan hak orang yang dizholimi dan minta maaf.
Imam Ibnul Mubarak-rahimahullah-berkata: “Syarat taubat adalah menyesali dosa, bertekad untuk tidak mengulangi, mengembalikan hak orang yang dizholimi dan menunaikan kewajiban yang tersia-siakan.” (Fathul Bari 11/124).

G.TAUBAT NASHUHAH
Taubat adalah kalimat yang agung, maka sudah semestinya kita bersungguh-sungguh dalam bertaubat. Bertaubat dengan semurni-murninya, tidak bermain-main dalam taubat, sebagaiman yang dilakukan oleh mayoritas manusia. Alloh berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Alloh dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Robb kamu akan menghapus kesalahan-kesalahan kamu dan memasukan kamu ke dalam surge yang mengalir dibawahnya sungai-sungai. (Qs. At-Tahrim: 8).
Alloh menjadikan terhapusnya kesalahan, dengan menghilangkan sesuatu yang dibenci oleh manusia, dan memasukannya ke dalam surga bergantung dari taubat yang nashuhah. (Madarijus Salikin 1/336)
Hasan Al-Bashri-rahimahullah-berkata: “Taubat nashuhah adalah seorang hamba yang menyesali dosanya yang telah lalu dan bertekad untuk tidak mengulanginya kembali.” (Madarijus Salikin 1/336).
Sahabat mulia Umar bin Khattab dan Ubay bin Ka’ab pernah berkata: “Taubat nashuhah adalah dengan bertaubat dari dosa, tidak mengulanginya kembali, sebagaiman susu tidak kembali ke dalam kantung kelenjarnya.” (Madrijus Salikin 1/336).
Rasulullah shalallahu’alahi wa sallam bersabda: “Andaikan kalian bersalah sampai kesalahan kalian memenuhi langit dunia, kemudian kalian bertaubat, niscaya Alloh akan menerima taubat kalian.” (HR. Ibnu Majah 4248, Hasan lihat Ash Shahihah 903)
Imam Ibnul Qayyim-rahimahullah-berkata: “Apabila alloh menghendaki kebaikan pada seorang hamba, maka Alloh akan membukakan pintu taubat baginya, dia akan menyesal , merendahkan diri, merasa butuh, memohon pertolongan, senantiasa tunduk berdo’a dan mendekatkan diri hanya kepada-Nya.” (Madarijus Salikin 1/206).
Maka taubat adalah permulaannya adalah kembali kepada Alloh dengan menapaki jalan-Nya yang lurus, sebagaiman Alloh perintahkan dalam firman-Nya:
Dan ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan lain, karena jalan-jalan lain itu menceraiberaikan kamu dari jalan-Nya. (Qs. Al-An’am: 153).
Dan akhir dari semua itu adalah kembali kepada-Nya di kampong akhirat, berjalan menuju surga-Nya. Maka barangsiapa yang kembali kepada Alloh dengan taubat di dunia, maka ia akan kembali kepada Alloh Ta’ala di akhirat dengan membawa pahala. Alloh Ta’ala berfirman:
Dan orang bertaubat dengan mengerjakan amal shalih, maka sesungguhnya dia bertaubat kepada Alloh dengan taubat yang sebenar-benarnya. (Qs. Al-Furqon: 71).
Akhirnya kita memohin ampun kepada Alloh Ta’ala dari segala dosa dan kesalahan, karena setiap anak Adam tidak luput dari dosa, dan sebaik-baiknya orang berdosa adalah yang bertaubat. Amiin. Allohu’alam.

Disalin dari majalah al furqon edisi 7 tahun 4 penulis Abu Abdillah


Senin, waktu dhuha 15 April 2013 M


Saiful 'Abu zuhri'


Sabtu, 13 April 2013

Keutamaan dan Hukum Jabat Tangan


Oleh Thalabul Ilmi Ma’had Al furqon (Muraja’ah: Ibnu Ahmad)

Sungguh pada diri Rasulullah Muhammad shalallahu’alahi wa sallam terdapat suri tauladan yang baik bagi umatnya. Baik dalam masalah aqidah, ibadah, muamalah, dan semua aspek kehidupan. Akhlak beliau shalallahu’alahi wa sallam sangatlah terpuji sehingga Ummul Mu’minin Aisyah radiyallahu’anha ketika ditanya tentang akhlak beliau, ia mengatakan bahwa akhlak Rasulullah shalallahu’alahi wa sallam adalah Al-Qur’an. Penutup para Nabi ini bermuamalah dengan para sahabatnya tidaklah membeda-bedakan antara yang satu dengan yang lainnya.
Dalam suatu riwayat dikatakan ada seorang laki-laki bertanya pada Abu Dzar radiyallahu’anhu,”Apakah Rasulullah menjabat tangan jika kalian menemuinya?” Maka dijawab,”Tidaklah aku menemui beliau kecuali beliau menjabat tanganku.” (Hadits ini didho’ifkan oleh Syaikh Al albani di Al Misykat 3/1327).
Hadits di atas adalah dha’if, sehingga tidak bisa dijadikan landasan ibadah, kecuali dikuatkan dengan riwayat lain yang bisa mengangkat derajatnya menjadi hasan.
Di dalam kitab-kitab hadits banyak terdapat hadits shahih yang menerangkan disyariatkan amalan ini-yakni jabat tangan dengan sesama jenis-ketika bertemu dengan saudaranya sesama muslim (laki-laki dengan laki-laki atau mahramnya, wanita dengan wanita atau mahramnya, pen).
Dalam suatu hadits dari Bar’ bin ‘Azib, Rasulullah shalallahu’alahi wa sallam bersabda: Tidaklah dua orang muslim bertemu lalu berjabat tangan kecuali keduanya diampuni (dosanya) sebelum lepas jabat tangan mereka. (HR. Shahih Sunan Tirmidzi 3/122)
Hadits di atas secara jelas menunjukakan keutamaan berjabat tangan. Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali-hafidzalloh-berkata: “Dalam hadits ini Alloh mengutamakan umat ini di atas umat-umat yang lain dengan menjadikan jabat tangan sebagai penebus atau pelebur dosa”. (Bahjatun Nadhirin 2/152).

HUKUM BERJABAT TANGAN
Bila ditinajau segi hukum, jabat tangan dibagi menjadi beberapa bagian :
1.       Sunnah atau Mustahabbah
Dari Qotadah, ia berkata: “Saya bertanya kepada Anas bin Malik, ‘Apakah jabat tangan telah ada pada jaman sahabat Rasulullah shallahu’alahi wa sallam? Anas menjawab,”Ya”. (HR. Shahih sunan Tirmidzi 2/91)
Ibnu Bathol rahimahullah berkata,”Jabat tangan adalah baik menurut para ulama.” Imam Malik menyatakan bahwa jabat tangan mustahab (sunnah) setelah sebelumnya dia membencinya. Imam Nawawi berkata,”Jabat tangan adalah sunnah yang telah disepakati ketika bertemu.” (Tuhfatul Ahwadzi 7/426)
Dari Al Bara’, Rasulullah shallahu’alahi wa sallam bersabda,”Jika dua orang muslim bertemu lalu berjabat tangan dan memuji Allah dan meminta ampun kepadaNya maka diampuni dosa keduanya.” (HR. Shahih sunan Abu Dawud 3/279)
Mubarokfuri berkata,”Hadits ini menunjukkan disunnahkannya berjabat tangan ketika bertemu, dan disunnahkan memuji Alloh dan meminta ampun padaNya yaitu dengan mengatakan: yaghfirallahu lana wa lakum (semoga Alloh mengampuni kami dan kalian). (Tuhfatu Ahwadzi 7/429)
Jabat tangan ini suatu ibadah, maka sudah seharusnya seorang muslim mengamalkannya dengan ikhlas hanya mengharapkan pahala Alloh semata. Janganlah berjabat tangan hanya sekedar basa-basi atau mengharap urusan duniawi seperti yang dilakukan oleh orang kafir. Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam bersabda dalam hadits Baro’ bin ‘Azib,”Tidaklah dua orang muslim bertemu lalu salah satunya mengucapkan salam pada yang lain dan menjabat tangannya, tidaklah menjabat tangannya karena Alloh, tidaklah keduanya melepas jabatan tangannya sehingga diampuni. (HR. Ahmad, sanadnya dishahihkan oleh Hamzah Ahmad Zain dalam Syarh Musnad Ahmad 14/208).

2.      Haram
Jabat tangan macam yang kedua ini ada kalanya berupa kemaksiatan dan ada kalanya berupa kebid’ahan. Adapun macam yang pertama adalah seperti jabat tangan seorang lelaki dengan wanita  yang bukan mahramnya. Rasulullah shalallhu’alahi wa sallam sangat keras melarang perbuatan ini dalam hadits-haditsnya yang banyak sekali, diantaranya:
Dari Abdullah bin ‘Amr,”Sesungguhnya Rasulullah tidak berjbat tangan dengan wanita ketika membaiat. (HR. Ahmad 2/213 dishahihkan oleh Syaikh Salim dalam Al Manahi As Syar’iyah 3/59)
Dari Umaimah bintu Ruqoiqih dia berkata,”Rasulullah shalallahu’alahi wa sallam bersabda,”Sesungguhnya aku tidak menjabat tangan wanita, hanyalah perkataanku untuk seratus orang wanita seperti perkataanku untuk satu orang wanita”. (HR. Tirimidzi 1597 dishahihkan oleh Syaikh Salim)
Dari Ma’qol bin Yasar dia berkata,”Rasulullah shalallahu’alahi wa sallam bersabda,”Sungguh kepala laki-laki ditikam dengan jarum besi ituj lebih baik daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya”. (HR. Thabrani dalam Mu’jam al kabir dan dihasnkan oleh Syaikh Salim)
Hadits-hadits diatas jelas melarang kita berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram kita. Tapi kadang muncul di benak kita bagaimana jika wanita itu sudah tua dan dia menggunakan kain sebagai pembatas? Maka tidak ada obat bagi orang yang tidak tahu kecuali bertanya pada yang alim. Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah pernah ditanya masalah ini dan beliau menjawab,”Tidak boleh berjabat tangan dengan wanita-wanita yang bukan mahramnya secara mutlak baik wanita itu masih muda dan sudah tua, baik yang menjabat tangannya itu pemuda maupun kakek-kakek, karena padanya ada bahaya fitnah bagi keduanya.” Kemudian beliau membawakan dua hadits lalu melanjutkan perkataannya,”dan tidak ada bedanya berjabat tangan menggunakan pembatas (kain/sarung tangan) atau pun tidak, karena keumuman dalil tersebut dan untuk membendung sarana yang bisa membawa kepada fitnah.” (fatawa Islamiyyah 3/76).
Adapun jabat tangan yang termasuk kategori bid’ah adalah seperti jabat tangan setelah shalat shubuh dan ashar. Berkata ‘Izz bin Abdus salam,”Berjabat tangan setelah shalat Shubuh dan Ashar termasuk Bid’ah. (Al Qoulu Mubin 294).
Adapun perkataan Imam Nawawi,”…Adapun jabat tangan yang biasa dilakukan manusia setelah shalat Shubuh dan Ashar adalah tidak ada asalnya dalam syariat akan tetapi tidak mengapa dikerjakan asal jabat tangan adalah sunnah. Dan keberadaan manusia menjaga amalan ini pada sebagian keadaaan dan meninggalkannya pada sebagian yang lain atau memperbanyak amalan ini tidaklah keluar dari asal jabat tangan yang disyariatkan.”
Maka berkata Ali Al Qori setelah menyebutkan perkataan  Imam Nawawi rahimahullah diatas,”Dan samar bahwa pada perkataan Nawawi ada pertentangan, karena melakukan sunnah pada sebagian waktu tidak dikatakan bid’ah, sedangkan amalan manusia pada dua waktu ini (jabat tangan setelah shalat Shubuh dan Ashar) tidaklah disunnahkan oleh syariat. Sesungguhnya jabat tangan  yang disyariatkan adalah awal waktu bertemu. Dan kadang terjadi sekelompok manusia saling bertemu tanpa jabat tangan  dan langsung sambut menyambut dengan obrolan atau mempelajari ilmu sampai waktu yang lama, kemudian setelah shalat mereka berjabat tangan. Apakah ini termasuk sunnah yang disyariatkan…?Oleh karena sebagian ulama mempertegas bahwa jabat tangan setelah shalat dibenci dan hal itu termasuk bid’ah yang tercela.
Dan berkata Qodi Basyirudin Al Qonwajiy,”Dan demikianlah jabat tangan dan saling merangkul setelah shalat ‘Iedul Adha ddan ‘Iedul Fitri termasuk bid’ah yag tercela dan menyelisihi syariat.” (Tuhfatul Ahwadzi 7/427).

Dari keterangan-keterangan yang telah berlalu dapat kita ambil beberapa faedah penting diantaranya:
1. Jabat tangan adalah amalan yang disunnahkan dan sangat dianjurkan oleh syariat karena besarnya keutamaan yang dikandungnya diantaranya dia adalah sebab diampuni dosa seseorang. Dan disebutkan oleh Imam Malik (dalam Al Muwatho’), bahwa jabat tangan bisa menghilangkan kedengkian dalam hati seseorang. Akan tetapi hadits ini dilemahkan oleh Syaikh Albani rahimahullah.
2. Hadits-hadits diatas menunjukkan bahwa jabat tangan disunnahkan ketika bertemu. Tapi hal ini tidak menafikan bolehnya berjabat tangan ketika hendak berpisah karena adanya dalil-dalil yang menerangkan hal tersebut. Hal ini diterangkan oleh Syaikh Albani dalam Ash Shahihah no. 16,”Perkataan sebagian mereka bahwa jabat tangan ketika akan berpisah merupakan kebid’ahan adalah tidak benar. Ya, ssesungguhnya orang yang berpijak pada hadits-hadits yang datang pada masalah jabat tangan ketika bertemu mendapatinya lebih banyak dan lebih kuat bila disbanding hadits-hadits yang datang pada masalah jabat tangan ketika berpisah. Dan orang yang faqih akan menarik kesimpulan bahwa jabat tangan ketika berpisah kedudukannya ddalam syariat tidak seperti ketika bertemu. Yang pertama adalah sunnah dan yang kedua adalah mustahabah. Adapun dikatakan bid’ah maka hal itu tidak benar karena  dalil-dalil yang telah kami sebutkan.”
3. Kita harus membedakan anatar jabat tangan yang sunnah dan jabat tangan yang haram, sekalipun pada asalnya jabat tangan itu disyariatkan.
4. Anjuran atau Isthibabnya seorang alim terhadap suatu amalan yang tidak didasari dengan dalil termasuk sebab munculnya bid’ah.
Demikian pembahasan yang dapat kami nukil dari kitab ulama salaf dalam masalah ini. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua. Dan kita berdo’a kepada Alloh agar menunjuki kita ke jalanNya yang lurus dalam semua urusan kita. Amin.

Dinukil dari majalah Al Furqon edisi tahun IV

Pekalongan,Selasa, 9 April 2013 M

Saiful ‘Abu Zuhri’