Minggu, 10 Maret 2013

Bagaimana Menjadi Pegawai yang Amanah?




Oleh
Syaikh Abdul Muhsin bin Hamad Al-Abad
MUKADIMAH
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas penyempurna dan pelengkap agama dan penghulu para rasul serta imam orang-orang yang bertaqwa nabi kita, Muhammad dan atas keluarga serta shahabat-shahabatnya dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari Kiamat. Amma ba’du
Ini adalah risalah singkat berupa nasihat untuk para pegawai dan karyawan dalam menunaikan pekerjaan-pekerjaan yang diamanahkan kepada mereka. Aku menulisnya dengan harapan agar mereka mendapat manfaat darinya, dan supaya mambantu mereka untuk mengikhlaskan niat-niat mereka serta bersungguh-sungguh dalam bekerja dan menjalankan kewajiban-kewajiban mereka. Aku memohon kepada Allah agar semua mendapatkan taufik dan bimbingan-Nya.
1. AYAT-AYAT MENGENAI KEWAJIBAN MENUNAIKAN AMANAH
Diantara ayat-ayat mengenai kewajiban menunaikan amanah dan larangan berkhianat adalah firman Allah Azza wa Jalla.
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ النَّاسِ أَن تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ ۚ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menunaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila kalian menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberikan pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. [An-Nisa : 58]
Ibnu Katsir berkata dalam tafsir ayat ini, “Allah Ta’ala memberitakan bahwasanya Ia memerintahkan untuk menunaikan amanah-amanah kepada ahlinya. Di dalam hadits yang hasan dari Samurah bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Tunaikan amanah kepada orang yang memberi amanah kepadamu, dan janganlah kamu menghianati orang yang mengkhianatimu” [Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ahlussunnan]
Dan ini mencakup semua bentuk amanah-amanah yang wajib atas manusia mulai dari hak-hak Allah Azza wa Jalla atas hamba-hamba-Nya seperti : shalat, zakat, puasa, kaffarat, nazar-nazar dan lain sebagainya. Dimana ia diamanahkan atasnya dan tidak seorang hamba pun mengetahuinya, sampai kepada hak-hak sesama hamba, seperti ; titipan dan lain sebagainya dari apa-apa yang mereka amanahkan tanpa mengetahui adanya bukti atas itu. Maka Allah memerintahkan untuk menunaikannya, barangsiapa yang tidak menunaikannya di dunia diambil darinya pada hari Kiamat”.
Dan firman-Nya.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu sedangkan kamu mengetahui” [Al-Anfal : 27]
Ibnu Katsir berkata, “Dan khianat mencakup dosa-dosa kecil dan besar yang lazim (yang tidak terkait dengan orang lain) dan muta’addi (yang terkait dengan orang lain). Berkata Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu Abbas mengenai tafsir ayat ini, “Dan kalian mengkhianati amanah-amanah kalian”. Amanah adalah ama-amal yang diamanahakn Allah kepada hamba-hamba-Nya, yaitu faridhah ( yang wajib), Allah berfirman : “Janganlah kamu mengkhianati” maksudnya : janganlah kamu merusaknya”. Dan dalam riwayat lain ia berkata, “(Janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul) Ibnu Abbas berkata, “(Yaitu) dengan meninggalkan sunnahnya dan bermaksiat kepadanya”.
Dan firman-Nya.
إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَن يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنسَانُ ۖ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia, sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh” [Al-Ahzab : 72]
Ibnu Katsir berkata setelah menyebutkan pendapat-pendapat mengenai tafsir amanah, diantaranya ketaatan, kewajiban, din (agama), dan hukum-hukum had, ia berkata, “Dan semua pendapat ini tidak saling bertentangan, bahkan ia sesuai dan kembali kepada satu makna, yaitu at-taklif serta menerima perintah dan larangan dengan syaratnya. Dan jika melaksanakan ia mendapat pahala, jika meninggalkannya dihukum, maka manusia menerimanya dengan kelemahan, kejahilan, dan kezalimannya kecuali orang-orang yang diberi taufik oleh Allah, dan hanya kepada Allah tempat meminta pertolongan”.
Firman Allah Ta’ala.
وَالَّذِينَ هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ
“Dan orang-orang yang memelihara amanah-amanah (yang dipikulnya) dan janji-janji” [Al-Mukminun : 8]
Ibnu Katsir berkata, “Yaitu, apabila mereka diberi kepercayaan mereka tidak berkhianat, dan apabila berjanji mereka tidak mungkir, ini adalah sifat-sifat orang mukminin dan lawannya adalah sifat-sifat munafikin, sebagaimana tercantum dalam hadis yang shahih.
“Tanda munafik ada tiga : apabila berbicara berdusta, apabaila berjanji ia mungkir dan apabila diberi amanat dia berkhianat”.
Dalam riwayat lain.
“Apabila berbicara ia berdusta, dan apabila berjanji ia mungkir dan apabila bertengkar ia berlaku keji”.
2. HADITS-HADITS TENTANG MENUNAIKAN AMANAH
Diantara hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kewajiban menjaga amanah dan ancaman dari meninggalkannya adalah sebagai berikut.
Hadits Pertama.
Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Ketika Nabi di suatu majelis berbicara kepada orang-orang, datanglah seorang Arab badui lantas berkata. ‘Kapan terjadinya Kiamat? Rasulullah terus berbicara, sebagian orang berkata, ‘Beliau mendengar apa yang dikatakannya dan beliau membencinya’, sebagian lain mengatakan, ‘Bahkan ia tidak mendengar’, sehingga tatkala beliau menyelesaikan pembicaraannya beliau berkata, ‘Mana orang yang bertanya tentang hari Kiamat?’ Ia berkata, ‘Ini aku wahai Rasulullah’, Rasul bersaba, ‘Apabila amanah telah disia-siakan maka tunggulah hari Kiamat’. Ia bertanya lagi, ‘Bagaimana menyia-nyiakannya?’ Beliau menjawab, ‘Apabila diserahkan urusan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah hari Kiamat” [Diriwayatkan Al-Bukhari]
Hadits Kedua
Dari Abu Hurairah, ia berkata, ‘Rasulullah telah bersabda, “Tunaikanlah amanah kepada orang yang memberi amanah kepadamu, dan janganlah kamu mengkhianati orang yang mengkhianatimu” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud 3535 dan At-Tirmidzi 1264, ia berkata, “ini adalah hadits hasan gharib”. Lihatlah, As-Silsilah Ash-Shahihah oleh Al-Albani 424]
Hadits Ketiga
Dari Anas Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Yang pertama hilang dari urusan agama kalian adalah amanah, dan yang terakhirnya adalah shalat” [Diriwayatkan oleh Al-Khara-ithi dalam Makarimil Akhlak hal. 28. Lihat, As-Silsilah Ash-Shahihah oleh Al-Albani 1739]
Hadits Keempat.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda, “Tanda seorang munafik ada tiga : apabila berbicara ia berdusta, apabila berjanji ia mungkir, dan apabila diberi amanah ia berkhianat” [Diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim]
3. PEGAWAI YANG MENUNAIKAN PEKERJAANNYA DENGAN IKHLAS MENDAPAT BALASAN DUNIA DAN AKHIRAT
Apabila seorang pegawai menunaikan pekerjaannya dengan sungguh-sungguh mengharapkan pahala dari Allah, maka ia telah menunaikan kewajibannya dan berhak mendapatkan balasan atas pekerjaannya di dunia dan beruntung dengan pahala di kampung akhirat. Telah datang nash-nash syar’iyah yang menunjukkan bahwasanya upah dan pahala atas apa yang dikerjakan oleh seorang dari pekerjaan didapat dengan ikhlas dan mengharapkan wajah Allah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
لَّا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِّن نَّجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ ۚ وَمَن يَفْعَلْ ذَٰلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepada-Nya pahala yang besar” [An-Nisa : 114]
Imam Bukhari (55) dan Imam Muslim (1002) telah meriwayatkan dari Abu Mas’ud bahwasanya Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Apabila seseorang menafkahkan untuk keluarganya dengan ikhlas maka itu baginya adalah sedekah”.
Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Sa’ad bin Abi Waqash Radhiyallahu ‘anhu.
“Artinya : Dan tidaklah engkau menafkahkan satu nafkah karena mengharapkan wajah Allah melainkan engkau mendapatkan pahala dengannya hingga sesuap yang engkau suapkan di mulu istrimu” [Diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim]
Nash-nash ini menunjukkan bahwasanya seorang Muslim apabila ia menunaikan kewajibannya terhadap sesama hamba lepaslah tanggung jawabnya, dan bahwasanya ia hanya akan mendapatkan balasan dan pahala dengan ikhlas dan mengharapkan wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala.
4. MENJAGA JAM KERJA UNTUK KEPENTINGAN PEKERJAAN
Wajib atas setiap pegawai dan pekerja untuk menggunakan waktu yang telah dikhususkan bekerja pada pekerjaan yang telah dikhususkan untuknya. Tidak boleh ia menggunakannya pada perkara-perkara lain selain pekerjaan yang wajib ditunaikannya pada waktu tersebut. Dan tidak boleh ia menggunakan waktu itu atau sebagian darinya untuk kepentingan pribadinya, atau kepentingan orang lain apabila tidak ada kaitannya dengan pekerjaan ; karena jam kerja bukanlah milik pegawai atau pekerja, akan tetapi untuk kepentingan pekerjaan yang ia mengambil upah dengannya.
Syaikh Al-Mu’ammar bin Ali Al-Baghdadi (507H) telah menasihati Perdana Menteri Nizhamul Muluk dengan nasihat yang dalam dan berfedah. Di antara yang dikatakannya diawal nasihatnya itu.
“Suatu hal yang telah maklum hai Shodrul Islam! Bahwasanya setiap individu masyarakat bebas untuk datang dan pergi, jika mereka menghendaki mereka bisa meneruskan dan memutuskan. Adapun orang yang terpilih menjabat kepemimpinan maka dia tidak bebas untuk bepergian, karena orang yang berada di atas pemerintahan adalah amir (pemimpin) dan dia pada hakikatnya orang upahan, ia telah menjual waktunya dan mengambil gajinya. Maka tidak tersisa dari siangnya yang dia gunakan sesuai keinginannya, dan dia tidak boleh shalat sunat, serta I’tikaf… karena itu adalah keutamaan sedangkan ini adalah wajib”.
Di antara nasihatnya, “Maka hiudpkanlah kuburanmu sebagaimana engkau menghidupkan istanamu” [1]
Dan sebagaimana seseorang ingin mengambil upahnya dengan sempurna serta tidak ingin dikurangi bagiannya sedikitpun, maka hendaklah ia tidak mengurangi sedikitpun dari jam kerjanya untuk sesuatu yang bukan kepentingan kerja. Allah telah mencela Al-Muthaffifin (orang-orang yang curang) dalam timbangan, yang menuntut hak mereka dengan sempurna dan mengurangi hak-hak orang lain. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
وَيْلٌ لِّلْمُطَفِّفِينَ الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ وَإِذَا كَالُوهُمْ أَو وَّزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ أَلَا يَظُنُّ أُولَٰئِكَ أَنَّهُم مَّبْعُوثُونَ لِيَوْمٍ عَظِيمٍ يَوْمَ يَقُومُ النَّاسُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ
“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang. Yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka meminta dipenuhi. Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidaklah oran-orang itu yakin, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan. Pada suatu hari yang besar. Yaitu hari ketika manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam” [Al-Muthaffifin : 1-6]
5. KRITERIA-KRITERIA MEMILIH PEKERJA DAN PEGAWAI
Landasan dalam memilih seorang pegawai atau pekerja hendaklah ia seorang yang kuat lagi amanah. Karena dengan kekuatan ia sanggup melaksanakan pekerjaan yang diembankan kepadanya, dan dengan amanah ia menunaikan sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya. Dengan amanah ia akan meletakkan perkara-perkara pada tempatnya. Dan dengan kekuatan ia sanggup menunaikan kewajibannya.
Allah telah memberitakan tentang salah seorang putri penduduk Madyan bahwasanya ia berkata kepada bapaknya tatkala Musa mengambilkan air untuk keduanya.
قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ ۖ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ
“Ya bapakku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja kepada kita. Karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya” [Al-Qashash : 26]
Dan Allah berfirman tentang Ifrit dari bangsa Jin yang mengutarakan kesanggupannya kepada Sulaiman Alaihissalam untuk mendatangkan singgasana Balqis.
قَالَ عِفْرِيتٌ مِّنَ الْجِنِّ أَنَا آتِيكَ بِهِ قَبْلَ أَن تَقُومَ مِن مَّقَامِكَ ۖ وَإِنِّي عَلَيْهِ لَقَوِيٌّ أَمِينٌ
“Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgasana itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu ; sesungguhnya aku benar-benar kuat untuk membawanya lagi dapat dipercaya” [An-Naml : 39]
Maknanya, ia menggabungkan antara kemampuannya untuk membawa dan mendatangkannya serta menjaga apa yang dibawanya.
Allah juga telah menceritakan tentang Yusuf Alaihissalam bahwasanya ia berkata kepada raja.
قَالَ اجْعَلْنِي عَلَىٰ خَزَائِنِ الْأَرْضِ ۖ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ
“Jadikanlahlah aku bendaharawan negara (Mesir). Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan” [Yusuf : 55]
Lawan dari kuat dan amanah adalah lemah dan khianat. Dan itu alasan untuk tidak memilih seseorang dalam bekerja dan sebab-sebab sebenarnya untuk mecopotnya dari pekerjaan.
Tatkala Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu menjadikan Sa’ad bin Abi Waqqash sebagai gubernur Kufah, dan sebagian orang-orang jahil negeri itu mencelanya di sisi Umar, maka Umar memandang maslahah dengan mencopotnya dari jabatan untuk menjaga dari terjadinya fitnah dan agar tidak seorangpun dari mereka mengganggunya. Akan tetapi Umar ketika sakit menjelang wafatnya telah menentukan enam orang shahabat Rasulullah yang dipilih dari mereka seorang yang akan menjabat khalifah setelahnya. Di antara mereka adalah Sa’ad bin Abi Waqqash, lantas Umar khawatir bahwa pencopotannya dari jabatan gubernur Kufah disangka karena ketidaklayakannya memimpin, maka umar menepis prasangka tersebut dengan perkataannya, “Jika kepemimpinan jatuh kepada Saad, maka dia layak untuk itu. Dan jika tidak hendaklah siapa pun dari kalian yang menjadi pemimpin meminta bantuannya, karena sesungguhnya aku tidak mencopotnya karena kelemahan dan khianat” [Diriwayatkan Al-Bukhari : 3700]
Dan didalam Shahih Muslim : (1825)
Dari Abu Dzar, ia berkata, “Aku berkata, ‘Hai Rasulullah! Tidaklah engkau memperkerjakan aku?’ Ia berkata, ‘Maka beliau menepuk pundakku dengan tanggannya kemudian bersabda, ‘Hai Abu Dzar, sesungguhnya engkau lemah, dan sesungguhnya pekerjaan itu adalah amanah, dan sesungguhnya ia adalah kehinaan dan penyesalan di hari Kiamat kecuali orang yang mengambilnya dengan haknya dan menunaikan kewajiban padanya”.
Dalam riwayat lain di Shahih Muslim (1826)
Dari Abu Dzar bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Hai Abu Dzar sesungguhnya aku melihatmu lemah dan sesungguhnya aku mencintai untukmu apa yang kucintai untuk diriku, janganlah sekali-kali engkau memimpin dua orang dan janganlah sekali-kali engkau mengurus harta anak yatim”.
6. ATASAN ADALAH TELADAN BAGI BAWAHANNYA DALAM BERSUNGGUH-SUNGGUH ATAU MALAS
Apabila para atasan pegawai melaksanakan kewajiban-kewajiban mereka dengan sempurna, pegawai-pegawai yang menjadi bawahannya akan mecontoh mereka. Dan setiap pemimpin dalam suatu pekerjaan akan diminta pertanggung jawabannya terhadap dirinya dan orang-orang yang dipimpinnya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Setiap kalian adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung jawabannya tentang apa yang dipimpinnya. Seorang amir yang memimpin manusia, ia memimpin mereka dan akan diminta pertanggung jawabannya tentang mereka, seorang laki-laki pemimpin atas keluarganya dan ia akan diminta pertangung jawabannya tentang mereka, dan seorang wanita adalah pemimpin atas rumah suami dan anaknya, dia akan diminta pertanggung jawabannya tentang mereka dan seorang budak pemimpin atas harta tuannya dan dia akan diminta pertanggung jawabannya terhadapnya, ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan diminta pertanggung jawaban terhadap apa yang dipimpinnya” [Diriwayatkan Al-Bukhari ; 2554 dan Muslim : 1829 dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhuma]
Dan apabila para atasan menjaga pekerjaan-pekerjaan dalam segala waktu-waktunya, mereka akan menjaga teladan yang baik bagi orang-orang yang mereka pimpin.
Seorang penyair berkata.
“Dan engkau selama melakukan yang engkau perintahkan
niscaya orang yang engkau perintahkan melakukannya”.
Maknanya, apabila engkau memerintahkan orang lain dari bawahanmu agar melakukan kewajibannya, dan engkau terlebih dahulu menunaikan kewajiban, maka sesungguhnya orang yang selainmu akan mematuhimu dan melaksanakan apa yang engkau perintahkan kepadanya.
7. PERLAKUAN PEGAWAI KEPADA ORANG LAIN SEPERTI APA IA INGIN DIPERLAKUKAN.
Nasihat memiliki kedudukan yang agung di dalam Islam, oleh karenanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Agama adalah nasihat’, kami berkata, ‘Untuk siapa?’, Beliau bersabda, ‘Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya dan para pemimpin kaum muslimin serta sesama mereka” [Diriwayatkan oleh Muslim 55 dari Abu Tamim bin Aus Ad-Dari Radhiyallahu ‘anhu]
Dan berkata Jarir bin Abdullah Al-Bajali Radhiyallahu anhu, “Aku telah berba’iat kepada Rasulullah atas mendirikan shalat, membayar zakat dan menasihati untuk setiap Muslim” [Diriwayatkan Al-Bukhari 57 dan Muslim 56]
Sebagaimana seorang pegawai atau karyawan apabila ia punya kebutuhan pada yang lain, orang lain itu wajib memperlakukannya dengan mu’amalah yang baik. Maka wajib pula atasnya untuk memperlakukan orang lain dengan mu’amalah hasanah (perlakuan yang baik).
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda.
“Artinya : Maka barangsiapa yang ingin dijauhkan dari api nereka dan masuk surga, hendaklah ia meninggal sedang ia beriman kepada Allah dan hari akhir, dan hendaklah ia memperlakukan manusia sebagaimana ia ingin diperlakukan” [Diriwayatkan oleh Muslim]
Dalam hadits yang panjang dari Abdullah bin Amr. Dan maknanya adalah perlakukanlah manusia sebagaimana engkau ingin diperlakukan.
Rasulullah bersabda.
“Artinya : Tidak sempurna keimanan salah seorang dari kalian sehingga ia mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri” [Diriwayatkan Al-Bukhari 13 dan Muslim 45 dari Anas]
Allah Ta’ala telah mencela orang yang memperlakukan orang lain tidak seperti ia ingin diperlakukan dalam firman-Nya.
وَيْلٌ لِّلْمُطَفِّفِينَ الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ وَإِذَا كَالُوهُمْ أَو وَّزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ
“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang. Yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka meminta dipenuhi. Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi” [Al-Muthaffifin : 1-3]
Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Sesungguhnya Allah telah mengharamkan atas kalian durhaka kepada para ibu, pelit dan rakus, menguburkan anak perempuan hidup-hidup, dan membenci untuk kalian tiga perkara yaitu ; kata-kata omong kosong, banyak bertanya, dan menyia-nyiakan harta” [Diriwayatkan Al-Bukhari 2408 dan Muslim 593 dari Al-Mughirah bin Syu’bah]
Di dalam hadits ini terdapat celaan terhadap yang rakus lagi pelit, yang mengambil dan tidak memberi.
Allah telah mngingatkan wali-wali anak-anak yatim bahwasanya mereka khawatir terhadap anak keturunan mereka yang kecil-kecil kalau mereka tinggalkan. Allah berfirman.
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap kesejahteraan mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar” [An-Nisa ; 9]
Maknanya, sebagaimana mereka ingin anak-anak keturunan mereka nantinya diperlakukan dengan baik, maka wajib atas mereka untuk berlaku baik terhadap anak-anak yatim yang mereka menjadi wali atasnya.
8. PEGAWAI MENDAHULUKAN YANG DAHULU DALAM BERURUSAN
Termasuk sikap adil dan insaf ; hendaknya seorang pegawai tidak mengahirkan orang yang duluan dari orang-orang yang berurusan, atau mendahulukan orang yang belakangan. Akan tetapi ia mendahulukan berdasarkan urusan yang terdahulu. Dalam hal yang seperti ini memudahkan pegawai dan orang-orang yang berurusan.
Telah datang dalam sunnah Rasulullah apa yang menunjukkan atas itu. Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Ketika Nabi di suatu majelis berbicara kepada orang-orang, datanglah seorang Arab badui lantas berkata. ‘Kapan terjadinya Kiamat? Rasulullah terus berbicara, sebagian orang berkata, ‘Beliau mendengar apa yang dikatakannya dan beliau membencinya’, sebagian lain mengatakan, ‘Bahkan ia tidak mendengar’, sehingga tatkala beliau menyelesaikan pembicaraannya beliau berkata, ‘Mana orang yang bertanya tentang hari Kiamat?’ Ia berkata, ‘Ini aku wahai Rasulullah’, Rasul bersaba, ‘Apabila amanah telah disia-siakan maka tunggulah hari Kiamat’. Ia bertanya lagi, ‘Bagaimana menyia-nyiakannya?’ Beliau menjawab, ‘Apabila diserahkan urusan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah hari Kiamat” [Diriwayatkan Al-Bukhari]
Hadits ini menunjukkan bahwasanya Rasulullah tidak menjawab si penanya tentang hari Kiamat melainkan setelah ia selesai berbicara kepada orang-orang yang telah mendahuluinya. Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam uraiannya, “Disimpulkan darinya memberi pelajaran berdasarkan yang duluan, dan begitu juga dalam fatwa-fatwa, urusan pemerintahan dan lain sebagainya”.
Dan disebutkan dalam biografi Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari di kitab Lisanul Mizan karangan Al-Hafizh Ibnu Hajar, “Dan Ibnu Asakir mengeluarkan dari jalan Abu Ma’bad Utsman bin Ahmad Ad-Dainuri ia berkata, ‘Aku menghadiri majelis Muhammad bin Jarir dan hadir juga menteri Al-Fadhal bin Ja’far bin Al-Furat, dan dia telah didahului oleh seseorang. Maka berkata Ath-Thabari kepada orang tersebut, ‘Tidakkah engkau ingin membaca?’ Maka ia menunjuk kepada si menteri. Maka Ath-Thabari berkata, ‘Apabila giliran untukmu maka janganlah engkau terganggu oleh Dajlah (nama sungai) atau Efrat (Al-Furat)’. Aku katakan, “Dan ini sebagian dari keunikan dan kemahiran bahasanya serta tidak tertariknya ia pada anak-anak dunia”.
9. PEGAWAI HARUS MEMILIKI SIFAT IFFAH (MENJAGA KEHORMATAN) DAN BERSIH DARI MENERIMA SOGOKAN DAN HADIAH.
Setiap pegawai wajib menjadi seorang yang menjaga kehormatan dirinya, berjiwa mulia dan kaya hati. Jauh dari memakan harta-harta manusia dengan batil, dari apa-apa yang diberikan kepadanya berupa suap walau dinamakan dengan hadiah. Karena apabila dia mengambil harta manusia dengan tanpa hak berarti ia memakannya dengan batil, dan memakan harta dengan cara batil merupakan salah satu sebab tidak dikabulkannya do’a.
Muslim meriwayatkan di dalam shahihnya (1015) dari Abu Hurairah, ia berkata, “Rasulullah telah bersabda,
“Sesungguhnya yang pertama busuk dari manusia adalah perutnya, maka barangsiapa yang sanggup untuk tidak memakan melainkan yang baik maka lakukanlah, dan barangsiapa yang bisa untuk tidak dihalangi antara dia dan surga walau dengan segenggam darah yang ditumpahkannya maka lakukanlah”
Dan yang juga diriwayatkannya (2083) dari Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Sungguh akan datang pada manusia suatu zaman di mana seseorang tidak peduli dengan cara apa dia mengambil harta, apakah dari yang halal atau dari yang haram”.
Menurut orang-orang yang mengambil harta tanpa peduli ini ; bahwasanya yang halal adalah yang berada di tangan dan yang haram adalah yang tidak sampai ke tangan. Adapun yang halal dalam Islam adalah apa yang telah dihalalkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan yang haram adalah yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Telah datang dalam sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hadits-hadits yang menunjukkan dilarangnya aparat pekerja dan pegawai mengambil sesuatu dari harta walaupun dinamakan hadiah, diantaranya hadits Abi Sa’id Hamid As-Saidi, ia berkata.
“Artinya : Rasulullah mempekerjakan seseorang dari suku Al-Asad, namanya Ibnul Latbiyyah untuk mengumpulkan zakat, maka tatkala ia telah kembali ia berkata, ‘Ini untuk engkau dan ini untukku dihadiahkan untukku’. Ia (Abu Hamid) berkata, ‘Maka Rasulullah berdiri di atas mimbar, lalu memuja dan memuji Allah dan bersabda, ‘Kenapa petugas yang aku utus lalu ia mengatakan, ‘Ini adalah untuk kalian dan ini dihadiahkan untukku?! Kenapa dia tidak duduk di rumah bapaknya atau rumah ibunya sehingga dia melihat apakah dihadiahkan kepadanya atau tidak?! Demi Dzat yang jiwa Muhammad di tangan-Nya! Tidaklah seorangpun dari kalian menerima sesuatu darinya melainkan ia datang pada hari Kiamat sambil membawanya di atas lehernya onta yang bersuara, atau sapi yang melenguh atau kambing yang mengembik’, kemudian beliau mengangkat kedua tangannya sampai kami melihat putih kedua ketiaknya, kemudian bersabda dua kali, ‘Ya Allah, apakah aku telah menyampaikan?” [Diriwayatkan Al-Bukhari 7174 dan Muslim 1832 dan ini adalah lafazhnya]
Dan di dalam shahih Bukhari (3073) dan shahih Muslim (1831) –dan dengan lafazhnya- dari Abu Hurairah, ia berkata.
“Artinya : Rasulullah berbicara kepada kami pada suatu hari, maka beliau menyebutkan Ghulul [2] dan beliau menganggapnya perkara yang besar, kemudian ia berkata, ‘Aku akan temui salah seorang kalian yang datang pada hari Kiamat di atas lehernya ada onta yang bersuara, ia berkata, ‘Hai Rasulullah, tolonglah aku’, maka aku (Rasulullah) mengatakan, ‘Aku tidak mampu berbuat apa-apa untukmu sedikitpun, sungguh aku telah menyampaikan kepadamu’, Aku tidak temui salah seorang dari kalian datang pada hari Kiamat dengan kuda di atas pundaknya yang memiliki hamhamah (suara), lantas ia berkata, ‘Hai Rasulullah! Bantulah aku’, maka aku berkata, ‘Aku tidak bisa membantu sedikitpun, sungguh aku telah menyampaikan kepadamu’, Aku tidak dapatkan salah seorang darimu datang pada hari Kiamat dengan kambing yang mengembik diatas pundaknya seraya berkata, ‘Hai Rasulullah! Tolonglah aku’, Maka aku menjawab, ‘Aku tidak mampu berbuat apa-apa untukmu, aku telah menyampaikan kepadamu’, Aku akan dapatkan salah seorang dari kalian datang pada hari Kiamat dengan membawa jiwa yang menjerit, lantas ia berkata, ‘Hai Rasulullah! Tolonglah aku’, Maka aku berkata, ‘Aku tidak memiliki apa-apa untukmu, sungguh aku telah menyampaikan kepadamu’, Aku akan mendapatkan salah seorang dari kalian datang pada hari Kiamat dengan pakaian diatas pundaknya ada shamit (emas dan perak), lalu ia berkata, ‘Hai Rasulullah! Tolonglah aku’, maka aku akan menjawab, ‘Aku tidak memiliki apa-apa untukmu, sungguh aku telah menyampaikan kepadamu”.
Riqa di dalam hadits ini maksudnya adalah pakaian dan shamit adalah emas dan perak.
Diantaranya hadits Abu Hamid As-Sa’di, bahwasanya Rasulullah bersabda.
“Artinya : hadiah-hadiah para pekerja adalah ghulul (khianat)”.
Diriwyatkan oleh Ahmad (23601) dan lainnya, dan lihat takhrijnya di kitab Irwa Al-Ghalil oleh Al-Albani (2622), dan ini semakna dengan hadits yang telah lalu dalam kisah Ibnu Al-Latbiyyah.
Diantaranya hadits Adi bin Umairah, ia berkata, “Aku mendengar bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Barangsiapa diantara kalian yang kami pekerjakan atas suatu pekerjaan, lalu ia menyembunyikan dari kami satu jarum atau yang lebih kecil, maka dia adalah ghulul dan ia akan datang dengannya pada hari Kiamat” [Dikeluarkan oleh Muslim]
Diantaranya hadits Buraidah dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda.
“Artinya : Barangsiapa yang kami pekerjakan atas suatu pekerjaan, lalu kami memberinya bagian, maka apa yang diambilnya setelah itu adalah perbuatan khianat” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan isnad shahih, dan dishahihkan oleh Al-Albani]
Dan dalam biografi Iyadh bin Ghanam dari kitab Shifatush Shafwah oleh Ibnul Jauzi (1/277), ketika itu ia sebagai gubernur Himsh dalam pemerintahan Umar, bahwasanya ia berkata kepada sebagian kerabatnya dalam sebuah kisah yang panjang, ‘Demi Allah! Jika aku digergaji lebih aku sukai daripada aku berkhianat seperak uang atau aku melampaui batas!”.
Aku memohon kepada Allah Azza wa Jalla agar membimbing setiap pegawai dan pekerja dari kaum muslimin untuk menunaikan pekerjaannya sesuai dengan yang diridhai Allah Tabaraka wa Ta’ala, dan ia mendapatkan pahala serta akhir yang terpuji di dunia dan akhirat.
Dan semoga Allah bershalawat dan salam serta memberikati hamba-Nyadan rasul-Nya, nabi kita Muhammad dan atas keluarga serta shahabat-shahabatnya.
[Disalin dari kitab Kaifa Yuaddi Al-Muwazhzhaf Al-Amanah, Edisis Indonesia Bagaimana Menjadi Pegawai Amanah? Penulis Syaikh Abdul Muhsin bin Hamad Al-Abad, Penerjemah Agustimar Putra, Penerbit Darul Falah, Jakarta 2006]
_______
Footnote
[1]. Dzailul Thabaqat Al-Hanabilah oleh Ibnu Rajab (1/107)
[2]. Al-Ghulul maksudnya perbuatan curang dan yang dimaksud hadits ini adalah mengmbil ghanimah (rampasan perang) dengan sembunyi-sembunyi sebelum dibagikan (pen).

Jumat, 08 Maret 2013

Hadits-Hadits Tentang Haramnya Isbal






Jumhur ulama mengatakan bahwa isbal jika tidak disertai dengan kesombongan, maka hukumnya tidak sampai pada derajat haram. Paling berat adalah makruh/tercela. Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa isbal itu haram secara mutlak, baik dengan atau tanpa kesombongan. Saya ingin mengajak teman-teman mencermati keseluruhan hadits (walau di sini nanti saya tidak menyebutkan keseluruhannya – namun hanya berkisar pada sebagian besarnya saja) yang berbicara mengenai sifat pakaian, khususnya dalam bahasan isbal. Di sini saya lebih condong pada pendapat yang mengatkan bahwa isbal haram secara mutlak. Berikut penjelasannya :
1.          Hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu
عن أبي هريرة رضى الله تعالى عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال ما أسفل من الكعبين من الإزار ففي النار
Dari Abi Hurairah radliyallaahu ta’ala ‘anhu dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bahwasannya beliau bersabda : "Apa-apa yang berada di bawah mata kaki dari kain, maka tempatnya adalah di neraka"  [HR. Al-Bukhari nomor 5450, Ahmad nomor 9936, Abdurrazzaq nomor 19987, dan yang lainnya].
Abul-Jauzaa’ berkata : 
"Hadits ini bermakna umum, yaitu bahwa segala sesuatu dari kain yang dikenakan yang melebihi mata kaki adalah berdosa dan tempatnya di nereka (akibat dosa tersebut). Di sini tidak ditunjukkan pembatasan (taqyid) atas kesombongan. Objek yang dituju oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam adalah pakaian. Bukan pelakunya secara langsung".
2.          Hadits Abu Dzarr radliyallaahu ‘anhu :
عن أبي ذر عن النبي صلى الله عليه وسلم قال ثلاثة لا يكلمهم الله يوم القيامة ولا ينظر إليهم ولا يزكيهم ولهم عذاب أليم قال فقرأها رسول الله صلى الله عليه وسلم ثلاث مرار قال أبو ذر خابوا وخسروا من هم يا رسول الله قال المسبل والمنان والمنفق سلعته بالحلف الكاذب
Dari Abi Dzarr radliyallaahu ‘anhu dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda : “Ada tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah di hari kiamat, tidak dilihat, dan tidak pula disucikan serta baginya adzab yang sanga pedih”.  Abu Dzar berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam mengucapkannya tiga kali”. Kemudian Abu Dzarr bertanya : “Sungguh sangat jelek dan meruginya mereka itu wahai Rasulullah ?”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “(Mereka adalah) Musbil (orang yang melakukan isbal), orang yang gemar mengungkit-ungkit kebaikan yang telah diberikan, dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu” [HR. Muslim nomor 106, Abu Dawud nomor 4087, At-Tirmidzi nomor 1211, dan yang lainnya].
3.          Hadits Hubaib Al-Ghiffary radliyallaahu ‘anhu :
عن هبيب الغفاري قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من وطئ على إزاره خيلاء وطئ في نار جهنم 
Dari Hubaib Al-Ghiffary radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Barangsiapa yang kainnya melebihi mata kaki karena sombong, ia akan menginjaknya di neraka Jahannam”  [HR. Ahmad nomor 15644, Al-Bukhari dalam At-Tarikh Al-Kabiir nomor 2907, dan yang lainnya; serta dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul-Jaami’ nomor 6592].
4.          Hadits ‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma :
عن سالم بن عبد الله عن أبيه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال الإسبال في الإزار والقميص والعمامة من جر منها شيئا خيلاء لم ينظر الله إليه يوم القيامة
Dari Salim bin Abdillah dari ayahnya dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda : “Isbal itu pada kain (sarung), pakaian, dan imamah (surban). Barangsiapa yang memanjangkannya dengan sombong, maka Allah tidak akan melihatnya di hari kiamat”  [HR. Abu Dawud nomor 4049; Nasa’i dalam Al-Mujtabaa nomor 5327,5328; dan Ibnu Majah nomor 3576; dengan sanad shahih].
Abul-Jauzaa’ berkata :
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin berkata dalam As-ilah Mihimmah halaman 29-30 : ‘“Sesungguhnya melabuhkan sarung dengan niat sombong hukumnya adalah Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat, tidak akan berbicara dengannya, tidak akan mensucikannya, dan dia mendapatkan siksaan yang pedih. Adapun apabila tidak diniatkan sombong, maka hukumnya adalah yang dibawah mata kaki akan disiksa dengan neraka”. Kemudian beliau (Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin) menyebutkan hadits Abu Dzar. Kemudian beliau melanjutkan : “Hadits ini adalah hadits muthlaq, akan tetapi dirinci dengn hadits Ibnu Umar radliyallaahu ‘anhumaa, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda : { من جر ثوبه من الخيلاء لم ينظر الله إليه يوم القيامة}”Barangsiapa yang melabuhkan/menyeret pakaiannya dengan sombong, Allah tidak akan melihatnya di hari kiamat” [HR. Al-Bukhari]. 
Kemutlakan hadits Abu Dzar dirinci oleh hadits Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma. Sekali lagi, jika dia melakukan karena sombong, Allah tidak akan melihatnya, membersihkannya, dan dia akan mendapat adzab yang pedih. Hukuman ini lebih berat daripada hukuman orang yang menurunkan pakaiannya di bawah mata kaki tanpa niat sombong.  Disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : { ما أسفل من الكعبين من الإزار ففي النار} ”Apa saja yang berada di bawah kedua mata kaki dari kain sarung, maka tempatnya di neraka”
Beliau tidak membatasi hal itu dengan kesombongan, dan sangat keliru apabila membatasinya dengan kesombongan, berdasarkan hadits terdahulu.  Hal ini ditegaskan lagi dengan hadits Abu Sa’id Al-Khudri radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda : {إزرة المؤمن إلى نصف الساق ولا حرج أو لا جناح فيما بينه وبين الكعبين ما كان أسفل من ذلك فهو في النار ومن جر إزاره بطرا لم ينظر الله إليه يوم القيامة} ”Batas sarung seorang mukmin sampai pertengahan betis, dan dibolehkan sampai kedua mata kaki, dan yang di bawah mata kaki tempatnya di neraka. Dan barangsiapa melabuhkan/menyeret-nyeret sarungnya dengan sombong, Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat” [HR. Malik, Abu Dawud, An-Nasa’i, Ibnu Majah, dan lainnya].
Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam menyebutkan dua masalah dalam satu hadits, dan beliau menerangkan perbedaan hukum antara keduanya karena adanya perbedaan sanksi, sehingga kedua masalah itu berbeda bentuk perbuatannya dan berbeda status hukum dan sanksinya.
Dan jika hukum dan sebab berbeda, tidak boleh membawa (dalil) muthlaq kepada muqayyad, karena kaidah membawa (dalil) muthlaq kepada muqayyad harus memenuhi syarat diantaranya adalah persamaan nash muthlaq dan muqayyad dalam hukum. Adapun jika terdapat perbedaan hukum, maka tidak boleh membatasi nash muthlaq dengan nash muqayyad. [:: selesai nukilan saya dari penjelasan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah:::].
Abul-Jauzaa’ berkata :

“Hadits Abu Dzarr menjelaskan secara muthlaq bahwa semua Musbil akan mendapat sanksi yang berat berupa Allah tidak mengajaknya bicara, tidakmelihat mereka, tidak mensucikan mereka, dan diberikan siksa yang pedih. Ini adalah jenis adzab “ekstra” daripada sekedar dimasukkan ke neraka. Namun, dalam hadits Ibnu ‘Umar dijelaskan bahwa yang mendapat adzab seperti itu adalah orang yang melakukan isbal secara sombong.
Adapun hadits Abu Hurairah adalah hadits umum bagi Musbil dengan neraka. Yang lebih menguatkan bahwa ancaman neraka ini lebih bersifat umum (dengan atau tanpa sombong) adalah bahwa konteks ancaman adalah tidak menyebutkan pelaku isbal secara langsung. Tapi tertuju pada objek pakaian, yaitu dengan lafadh ancaman : “Apa-apa  yang berada di bawah mata kaki dari kain, maka tempatnya adalah di neraka”. Di sini sama sekali tidak menyebutkan latar belakang dari pelaku isbal. 
5.          Hadits Abu Sa’id Al-Khudri radliyallaahu ‘anhu
عن أبي سعيد الخدري قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إزرة المسلم إلى نصف الساق ولا حرج أو لا جناح فيما بينه وبين الكعبين ما كان أسفل من الكعبين فهو في النار من جر إزاره بطرا لم ينظر الله إليه
Dari Abi Sa’id Al-Khudry radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam“Sesungguhnya batas sarung seorang muslim adalah setengah betis dan tidak mengapa atau tidak berdosa jika berada di antara setengah betis dan mata kaki. Apabila di bawah mata kaki maka tempatnya di neraka. Dan barangsiapa menjulurkan sarungnya karena sombong, maka Allah tidak akan melihat kepadanya” [HR. Abu Dawud nomor 4093 dan Ibnu Majah nomor 3573. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud juz 2 halaman 518].
Telah berkata Al-‘Adhim ‘Abadi ketika mensyarah hadits tersebut :
والحديث فيه دلالة على أن المستحب أن يكون إزار المسلم إلى نصف الساق والجائز بلا كراهة ما تحته إلى الكعبين , وما كان أسفل من الكعبين فهو حرام وممنوع .
"Hadits ini menunjukkan atas disukainya keadaan kain sarung seorang muslim sampai pada pertengahan betisnya. Dan diperbolehkan tanpa dibenci sampai dengan dua mata kaki. Dan apa-apa di bawah dua mata kaki, maka hal itu haram lagi terlarang” [Lihat kitab ‘Aunul-Ma’bud, pada Kitaabul-Libaas, Bab Fii Qadri Maudli’i ‘Izaar]. 
Abu Al-Jauzaa’ berkata :
“Hadits ini menyebutkan dua permasalahan dan dua hukum sekaligus sebagaimana telah dikatakan oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin sebelumnya. Yaitu : Larangan keumuman isbal dengan konsekuensi “neraka”; dan larangan isbal dengan sombong dengan konsekuensi hukum tidak akan dilihat Allah di hari kiamat”.
Hadits ini merupakan penjelas dari keterangan sebelumnya dalam hadits Abu Hurairah, Abu Dzarr, Ibnu ‘Umar, dan Hubaib radliyallaahu ‘anhum. Tidak bisa dikatakan bahwa pelarangan isbal itu hanya di-taqyid jika sombong saja. Jika ada seseorang yang memaksa untuk mengatakan seperti itu, maka makna hadits ini jadi janggal. Lafadh { من جر إزاره بطرا لم ينظر الله إليه} dalam hadits tersebut seakan tidak berfungsi karena sudah ada taqyid kesombongan di kalimat sebelumnya yaitu pada { ما كان أسفل من الكعبين فهو في النار }. Tentu saja perkataan ini tidak bisa diterima. 
6.          Hadits ‘Amr bin Asy-Syariid radliyallaahu ‘anhu
أن النبي صلى الله عليه وسلم تبع رجلا من ثقيف حتى هرول في أثره حتى أخذ ثوبه فقال ارفع إزارك قال فكشف الرجل عن ركبتيه فقال يا رسول الله انى أحنف وتصطك ركبتاي فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم كل خلق الله عز وجل حسن قال ولم ير ذلك الرجل الا وإزاره إلى أنصاف ساقيه حتى مات
“Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam mengikuti seorang laki-laki dari Tsaqif dengan berlari-lari kecil hingga beliau memegang pakaian yang dikenakannya (karena isbal). Maka beliau bersabda : “Angkatlah kain sarungmu !”. Perawi berkata : Maka laki-laki tersebut menyingkap kedua lutut seraya berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kakiku bengkok dan saling beradu kedua lututku tersebut (yaitu : cacat – Abul-Jauzaa’)”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Setiap ciptaan Allah ‘azza wa jalla itu baik”. Perawi berkata : Maka orang tersebut tidak pernah terlihat sejak itu melainkan kain sarungnya hanya sampai pertengahan betisnya hingga ia meninggal dunia” [HR. Ahmad nomor 19490, Al-Humaidi nomor 810, dan Ath-Thahawi Bab Bayan Musykilah Maa Ruwiya ‘an Rasuulillah shallallaahu ‘alaihi wasallam fii Dzikril-Fakhidzi Hal Huwa Minal ‘Aurah ?; dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahiihah nomor 1441].
Abu Al-Jauzaa’ berkata :
“Perintah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam untuk meninggikan kain sarung orang tersebut di atas sama sekali tidak menunjukkan  adanya ‘illat kesombongan. Pengingkaran beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam dilakukan semenjak beliau melihat orang tersebut dari kejauhan. Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak menanyakan kepada orang tersebut : “Apakah engkau melakukannya dengan sombong ?”. Tapi beliau memutlakkan perintahnya ketika behasil memegang kain yang dikenakannya dengan perkataan : “Angkatlah kainmu !”.  Alasan sakit dan cacat yang ada di dua lututnya tidak menghalangi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam memerintahkan tetap mengangkat kedua kainnya. Padahal kita tahu, bahwa alasan sakit dan cacat pada kasus-kasus tertentu sebenarnya mendapat dispensasi dalam syari’at untuk melakukan sesuatu yang pada asalnya adalah dilarang.
Tegasnya, hadits ini mengingkari adanya pembolehan isbal dengan alasan tidak sombong. 
7.          Hadits Abu Juray Jabir bin Salim radliyallaahu ‘anhu
عن أبي جري جابر بن سليم قال رأيت رجلا يصدر الناس عن رأيه لا يقول شيئا إلا صدروا عنه قلت من هذا قالوا هذا رسول الله صلى الله عليه وسلم قلت عليك السلام يا رسول الله مرتين قال لا تقل عليك السلام فإن عليك السلام تحية الميت قل السلام عليك قال قلت أنت رسول الله صلى الله عليه وسلم قال أنا رسول الله الذي إذا أصابك ضر فدعوته كشفه عنك وإن أصابك عام سنة فدعوته أنبتها لك وإذا كنت بأرض قفراء أو فلاة فضلت راحلتك فدعوته ردها عليك قلت اعهد إلي قال لا تسبن أحدا قال فما سببت بعده حرا ولا عبدا ولا بعيرا ولا شاة قال ولا تحقرن شيئا من المعروف وأن تكلم أخاك وأنت منبسط إليه وجهك إن ذلك من المعروف وارفع إزارك إلى نصف الساق فإن أبيت فإلى الكعبين وإياك وإسبال الإزار فإنها من المخيلة وإن الله لا يحب المخيلة وإن امرؤ شتمك وعيرك بما يعلم فيك فلا تعيره بما تعلم فيه فإنما وبال ذلك عليه
Dari Abu Juray Jaabir bin Salim radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Aku melihat seorang laki-laki yang pemikirannya senantiasa diterima oleh rakyat banyak dan tidak ada seorang pun yang mengomentari ucapannya. Aku bertanya : “Siapa ini ?”. Mereka menjawab : “Ini Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam”. Lalu aku katakan : “Alaikas-Salaam ya Rasulullah”. Sebanyak dua kali. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Jangan kamu ucapkan ‘alaikas-salaam, karena ucapan ‘alaikas-salaam itu adalah ucapan selamat terhadap orang yang mati. Tapi ucapkanlah : Assalamu ‘alaika”. Aku bertanya : “Apakah engkau Rasulullah ?”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab : “Aku adalah Rasulullah (utusan Allah). Apabila kamu tertimpa marabahaya lalu berdoa kepada-Nya, maka marabahaya tersebut akan lenyap darimu. Apabila daerahmu sedang dilanda kegersangan lalu kamu berdoa kepada-Nya, maka bumimu akan kembali subur. Apabila kamu berada di sebuah padang tandus lalu kendaraanmu hilang kemudian kamu berdoa kepada-Nya, maka Dia akan mengembalikan kendaraanmu itu”. Aku katakan : “Berikan kepadaku sebuah wasiat”. Beliau bersabda :“Jangan cela siapapun”. Maka ia (Juray bin Salim) berkata : “Maka mulai saat ini tidak ada seorang pun yang aku cela, baik orang merdeka, budak, unta, maupun kambing”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Jangan engkau sepelekan perbuatan baik walau sedikit. Berbicaralah kepada saudaramu dengan wajah berseri-seri sebab hal itu juga sebuah kebaikan. Angkat kain sarungmu hingga setengah betis. Jika engkau enggan, maka julurkan persis di atas mata kaki. Janganlah kamu melakukan isbal, sebab isbal itu termasuk perbuatan sombong (al-makhillah). Sesungguhnya Allah tidak mencintai kesombongan. Apabila ada seseorang yang mencela atau mencacimu dengan sesuatu yang ia ketahui dari dirimu, maka jangan engkau balas mencercanya dengan sesuatu yang engkau ketahui dari dirinya. Sebab, bencana tersebut hanya akan menimpa dirinya sendiri” [HR. Abu Dawud nomor 4084; dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud juz 2 halaman 515-516].
Abu Al-Jauzaa’ berkata :
“Mari kita perhatikan kalimat { وارفع إزارك إلى نصف الساق فإن أبيت فإلى الكعبين وإياك وإسبال الإزار فإنها من المخيلة وإن الله لا يحب المخيلة } “Angkat kain sarungmu hingga setengah betis. Jika engkau enggan, maka julurkan persis di atas mata kaki. Janganlah kamu melakukan isbal, sebab isbal itu termasuk perbuatan sombong (al-makhillah). Sesungguhnya Allah tidak mencintai kesombongan”.
Di sini Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menyebut tiga keadaan kain sarung. Dua diperbolehkan, dan satu dilarang. Dua diperbolehkan yaitu keadaan setengah betis; dan keadaan dijulurkan sampai batas maksimal mata kaki. Ini adalah penegasan perintah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : irfa’ izaarak !! . Kemudian dua keadaan yang diperbolehkan tersebut diikuti dengan satu keadaan yang tidak diperbolehkan, yaitu melebihi batas kaki dengan kalimat larangan : wa iyyaaka wa isbaala (Janganlah/jauhilah kamu dari melakukan isbal). Kalimat ini adalah kalimat larangan muthlaq tanpa ada indikasi kebolehan jika tanpa kesombongan.
Jikalau mau ditartibkan keadaan kain dalam wasiat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam tersebut adalah :
¯     sampai pertengahan betis (dianjurkan)
¯     dijulurkan sampai mata kaki (diperbolehkan)
¯     melebihi mata kaki (dilarang).
Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak memberikan tartib :
¯     sampai pertengahan betis (dianjurkan).
¯     dijulurkan sampai mata kaki (diperbolehkan).
¯     melebihi mata kaki jika sombong (dilarang).
Kalaupun misal keadaan isbal tanpa sombong itu diperbolehkan, tentu ia akan disebutkan secara gamblang dalam hadits tersebut dan juga dalam hadits-hadits lain. Tapi ternyata tidak bukan ? Ini menunjukkan bahwa keadaan kain lebih dari mata kaki itu memang keadaan kain yang tidak diperbolehkan/diharamkan. Bahkan,….. dalam hadits di atas disebutkan bahwa isbal tersebut merupakan hakikat kesombongan, baik si pelakunya berniat untuk sombong atau tidak sombong.
Saya kira, dalil ini secara sharih menolak pendapat yang mengatakan isbal itu boleh asal tidak sombong.
8.          Hadits ‘Ubaid bin Khalid
أنه كان بالمدينة يمشي فإذا رجل قال ارفع إزارك فإنه أبقى وأتقى فنظرت فإذا رسول الله صلى الله عليه وسلم فقلت يا رسول الله إنما هي بردة ملحاء قال أما لك في أسوة فنظرت فإذا إزاره على نصف الساق
Bahwasannya ia sedang berjalan di Madinah (dengan keadaan pakaiannya yang terjulur sampai ke tanah) dan ketika itu ada seseorang yang menegurku : “Angkatlah kainmu, karena hal itu lebih baik dan lebih bertaqwa bagimu!”. Maku aku pun menoleh, dan ternyata orang tersebut adalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Maka aku berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ia hanyalah burdah bergaris saja”. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Apakah engkau tidak menganggapku sebagai contoh ?”. Maka aku melihat dan ternyata kain beliau sebatas pertengahan betis”  [HR. Ahmad nomor 23136 dan Nasa’i dalam Al-Kubraa nomor 9683; serta dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Musktashar Asy-Syamaail Al-Muhammadiyyah nomor 97 halaman 69 – Maktabah Al-Islamiyyah ‘Amman].
Abu Al-Jauzaa’ berkata :
“Dalam hadits ini terdapat perintah untuk meneladani Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam berpakaian. Beliau juga tidak menebak-nebak apakah ‘Ubaid bin Khalid melakukannya secara sombong (sehingga menyebabkan beliau menegurnya). Hadits ini juga sekaligus membantah sebagian hujjah orang yang mengatakan bahwa hukum asal dari pakaian adalah boleh sehingga tidak mengapa isbal asal tidak sombong. Lihatlah, alasan ‘Ubaid yang kemukakan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam “mirip” dengan alasan yang disampaikan kebanyakan orang. Perkataan ‘Ubaid : { إنما هي بردة ملحاء} “sesungguhnya ia hanyalah burdah bergaris saja” ; bukankah bisa kita kiaskan dengan alasan : “Bukankah ia hanya perkara adat keduniawian saja” ? (yang membolehkan di dalamnya isbal asalkan tidak sombong) Ternyata, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak menerima alasan tersebut dan bahkan memerintahkan untuk mencontoh keadaan pakaian yang beliau kenakan.
9.          Hadits Abu Bakar (lebih tepatnya hadits Ibnu ‘Umar) radliyallaahu ‘anhuma
عن عبد الله بن عمر رضى الله تعالى عنهما قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من جر ثوبه خيلاء لم ينظر الله إليه يوم القيامة فقال أبو بكر إن أحد شقي ثوبي يسترخي إلا أن أتعاهد ذلك منه فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم إنك لست تصنع ذلك خيلاء
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam“Barangsiapa yang memanjangkannya dengan sombong, maka Allah tidak akan melihatnya di hari kiamat” . Maka Abu Bakar berkata : “Sesungguhnya salah satu sisi pakaianku selalu turun kecuali jika aku terus menjaganya”. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Sesungguhnya kamu bukan termasuk yang melakukannya dengan kesombongan”  [HR. Al-Bukhari nomor 3465 dan Muslim nomor 2085].
Abu Al-Jauzaa’ berkata :
“Hadits ini sering dijadikan dalil tentang diperbolehkannya isbal tanpa ada niat kesombongan. Hal ini tertolak dari beberapa segi :
a.    Abu Bakar memahami bahwa hakikat isbal itu merupakan kesombongan yang diharamkan, baik dengan atau tanpa niat sombong.
b.    Abu Bakar selalu menjaganya agar tidak melorot. Hal ini tercermin dari perkataannya : { إلا أن أتعاهد } “kecuali jika aku terus menjaganya”. Perkataan ini menunjukkan bahwa sebenarnya Abu Bakar tidak berniat isbal. Sebab melorotnya baju Abu Bakar kemungkinan besar adalah karena tubuhnya yang ringan (kurus) – sebagaimana dikenal dalam beberapa riwayat.
Al-Hafidh Ibnu Hajar berkata : { قوله الا أن أتعاهد ذلك منه أي يسترخي إذا غفلت عنه } “Perkataan Abu Bakar : Kecuali jika aku terus menjaganya ; maknanya adalah selalu melorot/turun apabila ia terlupa darinya” [Fathul-Baari juz 10 halaman 276 – Maktabah Sahab].
c.     Jawaban Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam { إنك لست تصنع ذلك خيلاء} “Sesungguhnya kamu bukan termasuk yang melakukannya dengan kesombongan” ; bukanlah sebagai pengakuan bahwa isbal tanpa sombong itu boleh. Jawaban tersebut sebagai satu jawaban yang menenangkan hati tentang kekhawatiran Abu Bakar bahwa ia termasuk katagori orang yang sombong (sebagaimana Abu Juray di Nomor 7 tentang makhiilah). Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam tahu bahwa Abu Bakar sering menjaganya, namun akhirnya sering melorot. 
d.    Perbedaan antara keadaan Abu Bakar dan sebagian di antara mereka yang membolehkan isbal dengan niat tidak sombong adalah sangat jelas. Setidaknya ada dua :
-         Abu Bakar selalu menjaga pakaiannya agar tidak melorot (isbal), sementara mereka melakukan isbal dengan sengaja dan menjadi satu kebiasaan.
-         Yang menegaskan bahwa Abu Bakar bukanlah termasuk orang yang sombong dalam berpakaian adalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam; sedangkan mereka tidak.
Hadits tersebut dibawakan juga oleh Al-Imam Ahmad dengan salah satu lafadhnya sebagai berikut :
عن زيد بن أسلم سمعت بن عمر يقول سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول من جر إزاره من الخيلاء لم ينظر الله عز وجل إليه قال زيد وكان بن عمر يحدث ان النبي صلى الله عليه وسلم رآه وعليه إزار يتقعقع يعني جديدا فقال من هذا فقلت انا عبد الله فقال ان كنت عبد الله فارفع إزارك قال فرفعته قال زد قال فرفعته حتى بلغ نصف الساق قال ثم التفت إلى أبي بكر فقال من جر ثوبه من الخيلاء لم ينظر الله إليه يوم القيامة فقال أبو بكر انه يسترخي إزاري أحيانا فقال النبي صلى الله عليه وسلم لست منهم
Dari Zaid bin Aslam : Aku mendengar Ibnu ‘Umar berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam berkata : “Barangsiapa yang memanjangkan/melabuhkan kain sarungnya dengan sombong, maka Allah tidak akan melihatnya di hari kiamat”. Berkata Zaid : Adalah Ibnu ‘Umar mengatakan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam melihat kain sarung yang dikenakannya yang berbunyi karena terseret. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Siapakah ini”. Aku berkata : “Aku adalah Abdullah bin ‘Umar”. Beliau berkata : “Apabila engkau adalah Abdullah bin ‘Umar, angkatlah kain sarungmu”. Maka ia pun mengangkat kain sarungnya. Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam menambahkan : “Tambah lagi”. Maka Abdullah bin ‘Umar mengangkat lagi hingga sampai pertengahan betisnya. Kemudian beliau menoleh kepada Abu Bakar kemudian bersabda : “Barangsiapa yang memanjangkan/melabuhkan kain sarungnya dengan sombong, maka Allah tidak akan melihatnya di hari kiamat”. Maka Abu Bakar berkata : “Bahwasannya kain sarungku sering turun/melorot”. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya : “Sesungguhnya kamu bukan termasuk mereka (orang-orang yang sombong)” [HR. Ahmad juz 2 nomor 6340].
Abu Al-Jauzaa’ berkata :
“Dalam hadits tersebut ada dua perkataan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada dua orang shahabat yang mulia yang sama-sama terkenal ittiba’-nya. Pada kesempatan pertama beliau menegur Ibnu ‘Umar agar menaikkan pakaian yang dikenakannya. Dan pada kesempatan kedua, beliau menegur Abu Bakar. Perbedaannya, dalam kasus Abu Bakar, beliau menyatakan bahwa Abu Bakar bukan termasuk orang-orang yang sombong. Kalau perkataan beliau kepada Abu Bakar kita anggap sebagai dalil bolehnya isbal tanpa sombong, maka apakah di saat yang bersamaan akan kita katakan bahwa Ibnu ‘Umar termasuk orang yang sombong sehingga beliau tetap menyuruh untuk mengangkat pakaian yang dikenakannya ? Tentu tidak. Hukum yang berlaku pada Ibnu ‘Umar sama dengan yang berlaku pada Abu Bakar. Hanya saja Abu Bakar telah menyatakan di riwayat sebelumnya bahwa pakaian tersebut turun jika ia tidak menjaganya. Dan ia memang tidak sengaja melakukannya. 
Dalam riwayat lain dari Ibnu ‘Umar dari Al-Imam Muslim menunjukkan pelarangan adanya isbal secara mutlak (dengan lafadh : istirkhaa’). Berikut riwayat tersebut :
عن بن عمر قال مررت على رسول الله صلى الله عليه وسلم وفي إزاري استرخاء فقال يا عبد الله ارفع إزارك فرفعته ثم قال زد فزدت فما زلت أتحراها بعد فقال بعض القوم إلى أين فقال أنصاف الساقين
Dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma ia berkata : “Aku melewati Rasulullah shallallaah ‘alaihi wasallam sedangkan kain sarungku turun (istirkhaa’)”. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Wahai Abdullah, angkatlah kain sarungmu”. Maka akupun mengangkatnya. Kemudian beliau bersabda lagi : “Tambah !” Maka aku menambahkannya. Maka semenjak saat itu aku selalu menjaganya. Maka sebagian manusia bertanya kepada Ibnu ‘Umar : “Sampai batas mana kain sarung tersebut diangkat ?”. Maka Ibnu ‘Umar menjawab : “Sampai batas pertengahan kedua betis” [HR. Muslim nomor 2086].
Kata istirkhaa’ di sini menunjukkan ketidaksengajaan. Jikalau ketidaksengajaan saja beliau tetap memerintahkan Ibnu ‘Umar untuk mengangkatnya, lantas bagaimana halnya dengan yang disegaja ? (walau dengan alasan tidak sombong). Terkait dengan kasus Abu Bakar, maka tidak ada ruang penafsiran untuk membawa ucapan Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wasallam kepada Abu Bakar sebagai dalil pembolehan isbal dengan tidak sombong. Wallaahu a’lam.
Al-Hafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
قوله لست ممن يصنعه خيلاء في رواية زيد بن أسلم لست منهم وفيه أنه لا حرج على من انجر إزاره بغير قصده مطلقا
“Sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam : ’Sesungguhnya kamu bukan termasuk yang melakukannya dengan kesombongan’ dan pada riwayat Zaid bin Aslam ’Sesungguhnya engkau bukan termasuk mereka’ ; sabda beliau tersebut menunjukkan bahwa orang yang pakaiannya melorot (sehingga isbal) dengan tanpa sengaja adalah tidak mengapa” [Fathul-Baari juz 10 halaman 276].
Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah berkata : “Maksud ucapan beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam (kepada Abu Bakar) adalah bahwa orang yang menjaga pakaiannya apabila melorot lalu menaikkannya, dia tidak termasuk orang yang melabuhkannya dengan sombong, karena dia tidak melakukan hal itu dengan sengaja. Tetapi hanyalah sarung itu terkadang melorot lalu ia naikkan. Tidak diragukan lagi bahwa ini dimaafkan….” [Al-Isbal li-Ghairi Khuyalaa’ halaman 23].
Hal yang sama dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Mukhtashar Asy-Syamail Al-Muhammadiyyah dan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Fataawaa Haammah.
10.     Hadits Ummu Salamah (lebih tepatnya hadits Ibnu ‘Umar) radliyallaahu ‘anhum.

حديث ابن عمر ـ رضي الله عنه ـ قال : قال رسول الله   : (( مَنْ جرّ ثوْبه خيلاء ، لم ينظر الله إليه يوم القيامة )) .
فقالت أم سلمة : فكيف يصنع النّساءُ بذيولهنّ ؟ قال : يرخين شبراً. فقالت : إذن تنكشف أقدامهن ! قال : فيرخينه ذراعاً ، لا يزدن عليه .
وفي رواية : (( رخص رسول الله  لأمهات المؤمنين شبراً ، ثم استزدنه ، فزادهنّ شبراً ، فكن يرسلن إلينا ، فنذرع لهن ذراعاً )).
Hadits Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam“Barangsiapa yang memanjangkannya dengan sombong, maka Allah tidak akan melihatnya di hari kiamat” . Ummu Salamah berkata : “Bagaimana dengan pakaian yang dikenakan para wanita di bagian belakang/bawahnya ?”. Beliau menjawab : “Hendaknya ia memanjangkannya sejengkal”. Ummu Salamah menimpali : “Jika begitu, kaki mereka masih tersingkap/terlihat”. Maka beliau menjawab : “Maka hendaknya mereka menambah sehasta dan tidak boleh lebih dari itu”.
Dalam riwayat yang lain disebutkan : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam memberikan rukhshah (keringanan) bagi Ummahatul-Mukminin (untuk memanjangkan pakaian mereka) satu jengkal. Kemudian mereka meminta agar ditambah lagi. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam menambah satu jengkal lagi. Kami pun mengukurnya bagi kami yaitu sepanjang satu dzira’ (sehasta)”  [HR. Al-Bukhari Kitaabul-Libas Bab Man Jarra Tsaubuhu Minal-Khuyalaa 10/285 nomor 5791 di bagian awal hadits khususnya bagian pertanyaan Ummu Salamah. Diriwayatkan juga secara sempurna oleh At-Tirmidzi Abwaabul-Libaas : Bab Maa Jaa-a fii Jarri Dzuyuulin-Nisaa’ 4/223 nomor 1731 dan ia berkata : Hadits ini hasan shahih. Selengkapnya, lihat catatan kaki. ---- Hadits beserta takhrijnya diambil dari Al-Qaulul-Mubiin fii Akhthaail-Mushalliin oleh Asy-Syaikh Masyhur bin Hasan Aalu Salman, Maktabah Al-Misykah halaman 14].
Hadits ini terdapat dalil tentang diharamkannya isbal baik dengan atau tanpa sombong. Asy-Syaikh Masyhur menjelaskan sebagai berikut :

أنّه لو كان كذلك لما كان في استفسار أم سلمة عن حكم النّساء في جرّ ذيولهنّ معنى ، بل فهمت الزّجر عن الإسبال مطلقاً ، سواء كان عن مخيلة أم لا ، فسألت عن حكم النساء في ذلك لاحتياجهنّ إلى الإسبال من أجل ستر العورة ، لأن جميع قدمها عورة ، فبيّن لها : أن حكمهنّ في ذلك خارج عن حكم الرّجال في هذا المعنى فقط .
وقد نقل عياض الإجماع على أن المنع في حقِّ الرّجال دون النّساء ، ومراده منع الإسبال ، لتقريره أم سلمة على فهمها .
والحاصل : أن للرجل حالين :
حال استحباب : وهو أن يقتصر بالإزار على نصف السّاق .
حال جواز : وهو إلى الكعبين .
وكذلك للنّساء حالان :
حال استحباب : وهو ما يزيد على ما هو جائز للرّجال ، بقدر الشبر .
حال جواز : بقدر الذّراع.
وعلى هذا جرى العمل من في عهد وما بعده .

“Bahwasannya apabila benar klaim mereka bahwa larangan isbal itu adalah karena sombong, pasti Ummu Salamah tidak akan meminta keterangan lagi tentang hukum para wanita yang memanjangkan bagian bawah pakaian mereka. Bahkan, yang dipahami oleh Ummu Salamah adalah bahwa isbal itu terlarang secara mutlak, baik karena sombong ataupun bukan karena sombong. Maka ia bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam tentang hukum wanita yang melakukan isbal untuk menutup aurat mereka. Hal itu dikarenakan seluruh bagian kaki adalah aurat. Oleh karena itu, beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam memberikan keterangan bahwa hukum isbal bagi wanita keluar (maksudnya : berbeda) dari hukum isbal bagi laki-laki.
Dan ‘Iyadl telah menukil ijma’ bahwasannya larangan isbal itu hanya berlaku bagi laki-laki, tidak bagi para wanita. Maksudnya, isbaal itu hanya berlaku pada laki-laki berdasarkan taqrir beliau atas pemahaman Ummu Salamah radliyallaahu ‘anhaa
Kesimpulannya, ada dua keadaan pakaian yang diperbolehkan bagi laki-laki :
a.    Keadaan yang disukai (disunnahkan), yaitu memendekkan kain sarung sampai pertengahan betis.
b.    Keadaan yang diperbolehkan, yaitu keadaan panjang kain sarung hingga mata kaki (dan tidak boleh lebih).
Begitu pula bagi wanita ada dua keadaan :
a.    Keadaan yang disukai (disunnahkan), yaitu memanjangkan sejengkal dari batas yang diperbolehkan bagi laki-laki (maksudnya : dipanjangkan sejengkal di bawah mata kaki).
b.    Keadaan yang diperbolehkan, yaitu memanjangkan satu hasta (satu dzira’)  [Fathul-Baari 10/259]
Atas dasar inilah dipraktekkan oleh orang-orang di jaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam atau setelahnya. [selesai perkataan Syaikh Masyhur – lihat selengkapnya di Al-Qaulul-Mubiin fii Akhthaail-Mushalliin halaman 15 – Maktabah Al-Misykah]. 
11.     Hadits Hudzaifah radliyallaahu ‘anhu
عن حذيفة قال أخذ رسول الله صلى الله عليه وسلم بعضلة ساقي أو ساقه فقال هذا موضع الإزار فإن أبيت فأسفل فإن أبيت فلا حق للإزار في الكعبين قال أبو عيسى هذا حديث حسن صحيح
Dari Hudzaifah radliyallaahu ‘anhu ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam memegang urat betisku”. Maka beliau bersabda : “Ini adalah batas panjang kain sarungmu. Apabila engkau enggan, maka boleh di bawahnya. Dan jika engkau enggan, maka tidak ada hak bagi kain sarung untuk melebihi mata kaki”  [HR. At-Tirmidzi nomor 1783; dan beliau berkata : Ini adalah hadits hasan shahih. Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi juz 2 halaman 290].
Jika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menisbatkan panjang sarung dari pertengahan betis sampai kedua mata kaki sebagai sesuatu yang Haq, dan selain daripada itu laisa minal- haqq (ini redaksi saya – Abul-Jauzaa’, sedangkan redaksi hadits : Falaa Haqq). Maka hal itu dapat kita pahami bahwa memanjangkan kain di bawah mata kaki adalah bathil. Sebab dalam Al-Qur’an telah dijelaskan bahwa tidak ada setelah al-haqq itu melainkan kebathilan. 
Hadits ini juga merupakan pengharaman mutlak isbal, baik sombong maupun tidak sombong. Di situ tidak ada qarinah apa-apa yang menunjukkan pelarangan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam berkaitan dengan kesombongan.
12.     Hadits 
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم نعم الرجل خريم الأسدي لولا طول جمته وإسبال إزاره
Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam“Sebaik-baik laki-laki adalah Khuraim Al-Asady jika saja dia tidak panjang rambutnya dan isbal kain sarungnya” [HR. Ahmad nomor 17659; hasan lighairihi].
Pendalilan dari hadits ini bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menghukumi Khuraim dari dhahirnya saja yaitu pada masalah rambut dan isbal. Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak mengatakan [لولا طول جمته وإسبال إزاره خيلاء] “jika saja dia tidak panjang rambutnya dan isbal kain sarungnya dengan sombong”.  Sebab, jika yang dimaksud kesombongan di sini adalah kesombongan bathin, tentu adalah tidak mungkin beliau mengatakannya. Kesombongan jenis itu tidakmungkin dihukumi dari sekedar melihat rambut dan pakaian saja. 
Kesimpulannya, hadits ini menunjukkan tercelanya isbal secara umum, baik dengan atau tanpa kesombongan.
13.     Atsar Anas bin Malik radliyallaahu ‘anhu :
الازار إلى نصف الساق أو إلى الكعبين ، لا خير فيما هو أسفل من ذلك
“Panjang kain sarung itu sampai pertengahan betis atau sampai dua mata kaki. Tidak ada kebaikan terhadap apa saja yang melebihi itu (yaitu melebihi dua mata kaki)” [Al-Mushannaf Ibnu Abi Syaibah juz 6 halaman 29; dengan sanad shahih].
Abu Al-Jauzaa’ berkata :
“Dalam atsar tersebut terdapat dua kalimat, yaitu :
a.          Panjang kain sarung itu sampai pertengahan betis atau sampai dua mata kaki. 
b.          Tidak ada kebaikan terhadap apa saja yang melebihi itu (yaitu melebihi dua mata kaki)”
Kalimat pertama menunjukkan tentang batas dibolehkannya dalam pakaian. Kalimat kedua menunjukkan sisi hukum yang menyertai. 
Di sini tidak ada qarinah bahwa kalimat { لا خير} “tidak ada kebaikan”  dibatasi oleh alasan sombong. Bahkan itu umum, dengan dan tanpa sombong. Dan adalah menjadi aneh jika hadits tersebut dimaknakan dengan kesombongan, sehingga lafadh hadits tersebut ekuivalen dengan kalimat : 
“Panjang kain sarung itu sampai pertengahan betis atau sampai dua mata kaki. Tidak ada kebaikan terhadap apa saja yang melebihi itu (yaitu melebihi dua mata kaki) yaitu jika disertai kesombongan”.
Jika memang makna di atas yang ingin dibawa, tentu kalimat pertama dalam hadits menjadi tidak berfungsi. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam hanya menyebutkan dua keadaan ‘izar (kain sarung) yang tidak ada ketiganya, yaitu :  1) Sampai pertengahan betis, 2) Di bawah pertengahan betis sampai mata kaki. Di sinilah letak kebaikan. Di luar keadaan ini, maka tidak ada nisbah kebaikan. Jika ada orang yang menginginkan bahwa tidak apa-apa hukumnya melabuhkan pakaian di bawah mata kaki, maka dimana letak kebaikannya di sini ? Al-Jawab : "Tidak ada !".  Tidak ada hukum yang bisa dibawa kepada keadaan ketiga (melabuhkan pakaian di bawah mata kaki/isbal dengan tidak sombong), kecuali dosa. Karena hal itu diluar dua keadaan diperbolehkannya panjang ‘izar (kain sarung).
Wallaahu a'lam.

[Abul-Jauzaa’ – ini merupakan tulisan saya beberapa waktu lampau, dengan referensi dari Maktabah Sahab dan yang semisal, sehingga mungkin ada perbedaan dalam hal penomoran hadits dan halaman pada referensi-referensi standar].