Kehidupan Beliau:
Al-Hafizh Ibnu Katsir dilahirkan pada
permulaan abad kedelapan hijriyyah. Beliau mengisahkan sendiri dalam Al
Bidayah, mengenang berbagai kejadian pada tahun 701: “pada masa itulah
dilajirkan penulis buku ini(Al Bidayah), Ismail bin Umar bin Katsier Al-Qurasy
Al-Bushrawi Asy-Syafi’I, semoga Allah memberikan ampunan kepadanya.”
Kota kelahiran Ibnu Katsir adalah
Mujaidil Al-Qaryah, masih termasuk wilayah Bushra, di Syam. Yakni kampung
kelahiran ibunda beliau juga, Maryam binti Faraj bin Ali. Ayahnya sendiiri
pernah menjabat sebagai khatib di kota tersebut. Ia sempat tinggal disana cukup
lama sekali dalam kemakmuran, berkecukupan namun tetap rajin membaca. Ibnu
katsir telah menceritakan kepada kami tentang nasab dan hal ihwal beliau, saat
beliau mengenang wafat ayahandanya tahun 703: “Di kota itulah ayahku meninggal,
Al-Khatib, Syihabuddien, Abu Hafsh, Umar bin katsier bin Dhawwin bin Dar’
Al-Qurasyi, dari (suku) Bani Haslah. Mereka dikenal sebagai orang-orang
terhormat dan memilki nasab yang baik. Sebagian diantaranya sempat diketahui
oleh Syaikh Al-Mizzi, dan beliau amat tertarik dan terkesan dengan nasab
tersebut. Akhirnya karena hal itu beliau menuliskan nasab Al-Qurasyi pada
nasabku.”kemudian Ibnu Katsir menyebutkan keluarganya sesudah itu sempat pindah
ke Damaskus, untuk menemani saudara kandungnya Abdul wahhab pada tahun 707 H.
Ibnu katsir menceritakan: “Ia saudara kandung kami, dan dia juga teman setia
yang sayang kepada kami. Ia meninggal dunia di usia lanjut pada tahun 750-an.
Melalui beliau aku banyak menimba ilmu. Dengan jasa beliau Allah memberikan
kemudahan kepadaku untuk menuntut ilmu, dan melapangkan jalan yang terasa sulit
bagiku.”
Di Damaskus, Ibnu Katsir berjumpa dengan
salah seorang ulama besar. Damaskus kala itu memang menjadi markas besar ilmu
di dunia Islam. Di kota ini terdapat majelis-majelis hafalan Al-Qur’an,
lembaga-lembaga pendidikan seperti sekolah-sekolah dan masjid-masjid. Ibnu
Katsir banyak mengambil pelajaran dari pertemuaannya dengan tokoh-tokoh di
masanya. Gurunya yang paling berpengaruh dalam kehidupan beliau dan dalam
orientasi pemikiran beliau adalah Syaikh Al-Hafizh Abul Hajaj Al-Mizzi yang
mengangkatnya sebagai menantu sehingga beliau bias menikahi putrinya, Zainab.
Persahabatan dan hubungab dekat beliau dengan Al-Mizzi banyak member pengaruh
yang jelas pada tulisan-tulisan beliau. Tak lama setelah perkenalan beliau
dengan Al-Mizzi, beliau sudah menjadi tokoh ulama yang mensejajari tokoh-tokoh
di Damaskus. Para murid berdatangan kepada beliau. Sebagaimana diceritakan oleh
An-Nua’imi, beliau berhasil menjabat Syaikh di Ummu Shalih, setelah wafatnya
Syaikh di lembaga pendidikan itu, yaitu Adz-Dzahabi (748 H). Beliau juga
menjadi Syaikh di lembaga pendidikan itu, Syaikh Taqiyuddien As-Subki (683-756)
H. Namun itu hanya berlangsung sebentar, jabatan itu kemudian diambil lagi dari
beliau.
Ibnu Katsir
memiliki empat orang putra: Umar (wafat 783 H), Ahmad (lahir 765, Wafat 801 H)
dan Muhammad (lahir 759, dan wafat 803 H) dan Abdul Wahhab (lahir 767 dan wafat
840). Tiga anaknya yang pertama, diceritakan biografinya oleh Ibnu Hajar dalam
kitab Inbaa-ul ghumur 2/75, 4/39, 321-322. Sementara tiga yang lain diceritakan
oleh As-Sakhawi kitab Ad Dhau Al-Lamie’ pada tahun 1/243,7/138,5/98. Ahmad
sendiri tidak dikenal sebagai ulama. Adapun anak-anak beliau yang lain, sempat
mempelajari banyak riwayat, dan banyak juga ulama yang meriwayatkan hadits dari
mereka. Muhammad sendiri sempat menulis sejarah berbagai hal yang terjadi di
jamannya.
Berkaitan
dengan aqidahnya, para ulama menyebutkan bahwa beliau adalah orang yang lurus
pemahaman agamanya dan beraqidah salafi. Besar kemungkinan itu pengaruh dari
persahabatan beliau sebelumnya dengan syaikh beliau, Abul Abbas Ahmad Ibnu
Taimiyyah, juga karena beliau banyak belajar dari syaikh Al-Mizzi, yang juga
mertuanya, serta guru-guru beliau yang lain, sehingga beliau dikenal dengan
itu. Pernah juga terjadi konflik antara beliau dengan Burhanuddien Ibnu
As-Syaikh Syamsuddin yang dikenal dengan Ibnul Qayyim (719-767) yang
diceritakan oleh An-Nu’aimi: “Beliau memiliki jawaban-jawaban yang tidak
terbantahkan lagi. Ibnu Qayyim juga pernah terlibat debat dengan Ibnu katsir
dalam sebuah pertemuan. Ibnu katsir bertanya: “Apakah engkau membenciku karena
aku seorang Asy’ari?” Ibnul Qayyim menjawab: “Kalaupun seandainya dari mulai
kepalamu hingga telapak kakimu tumbuh sya’r (rambut), semua orang tetap tidak
akan percaya bahwa engkau adalah Asy’ari. (lihat Ad Daaris 1/89). Di sini harus
betul-betul dipahami ucapan Ibnu Katsir, bahwa ucapannya itu bukanlah pengakuan
bahwa beliau beraqidah Asy’ariyyah. Artinya: “Saya tidak mendapatkan sebab
kenapa engkau membenciku, kecuali persangkaanmu bahwa aku adalah Asy’ari!!!”
Burhanuddin lalu menjawab: “Siapa yang menyangka engakau demikian?”
Adapun
madzab beliau dalam fiqh, beliau bermadzab Syafi’iyyah. Nanti akan dijelaskan
kepada pembaca, saat kita berbicara tentang tulisan-tulisan beliau.
Allah
mewafatkan beliau pada bulan Sya’ban tahun 774 H, dan dikebumikan di pekuburan
Ash Shufiyyah, di sisi Syaikh beliau Ibnu Taimiyah. Semoga Allah memberikan
kepada beliau rahmat yang luas…
Para Guru
Beliau:
Ilmu hadits
lebih banyak mendominasi Ibnu Katsir.beliau telah banyak bertemu dengan para
guru di bidang hadits. Oleh sebab itu berbagai tulisannya banyak berkutat
seputar ilmu hadits dan ibarat distempel dengan ilmu hadits, meskipun
tulisan-tulisan itu berkaitan dengan tafsir atau fiqh, sebagaimana akan kita
jelaskan nanti saat memaparkan berbagai tulisan dan risalah beliau. Ibnu Hijji
sendiri selaku murid beliau menggambarkannya: “Ia adalah orang yang paling
hapal terhadap matan hadits yang pernah kami jumpa, paling mengerti takhrij-nya
dan para perawinya, diantara yang shahih dan yang dha’if. Teman-teman
seangkatan dan para guru-gurunya sudah mengakui hal itu. Ia dapat menyampaikan
banyak hal tentang tafsir dan sejarah serta jarang sekali lupa. Ia seorang ahli
fiqh dan berpemahaman baik, bagus agamanya, selalu menghidupkan malam hingga
akhir waktu, memiliki kemampuan bahasa Arab yang bagus sekali dan pandai
menggubah syair. Tak bisa kuhitung berapa kali aku berjumpa dan menemuinyadalam
banyak waktu, aku selalu bisa mengambil ilmu darinya."
(Tulisan ini
terhenti dikarenakan tulisan ini dulu aku menyalinnya dari buku salah seorang
ikhwan di jogja, buku itu judulnya “Ringkasan Sirah Nabi” terjemahan pustaka at
Tibyan dan sekarang aku tidak lagi tinggal di jogja, mudah-mudahan Allah
memberikan kemudahan kepadaku untuk memiliki buku itu)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar