Sabtu, 13 April 2013

Keutamaan dan Hukum Jabat Tangan


Oleh Thalabul Ilmi Ma’had Al furqon (Muraja’ah: Ibnu Ahmad)

Sungguh pada diri Rasulullah Muhammad shalallahu’alahi wa sallam terdapat suri tauladan yang baik bagi umatnya. Baik dalam masalah aqidah, ibadah, muamalah, dan semua aspek kehidupan. Akhlak beliau shalallahu’alahi wa sallam sangatlah terpuji sehingga Ummul Mu’minin Aisyah radiyallahu’anha ketika ditanya tentang akhlak beliau, ia mengatakan bahwa akhlak Rasulullah shalallahu’alahi wa sallam adalah Al-Qur’an. Penutup para Nabi ini bermuamalah dengan para sahabatnya tidaklah membeda-bedakan antara yang satu dengan yang lainnya.
Dalam suatu riwayat dikatakan ada seorang laki-laki bertanya pada Abu Dzar radiyallahu’anhu,”Apakah Rasulullah menjabat tangan jika kalian menemuinya?” Maka dijawab,”Tidaklah aku menemui beliau kecuali beliau menjabat tanganku.” (Hadits ini didho’ifkan oleh Syaikh Al albani di Al Misykat 3/1327).
Hadits di atas adalah dha’if, sehingga tidak bisa dijadikan landasan ibadah, kecuali dikuatkan dengan riwayat lain yang bisa mengangkat derajatnya menjadi hasan.
Di dalam kitab-kitab hadits banyak terdapat hadits shahih yang menerangkan disyariatkan amalan ini-yakni jabat tangan dengan sesama jenis-ketika bertemu dengan saudaranya sesama muslim (laki-laki dengan laki-laki atau mahramnya, wanita dengan wanita atau mahramnya, pen).
Dalam suatu hadits dari Bar’ bin ‘Azib, Rasulullah shalallahu’alahi wa sallam bersabda: Tidaklah dua orang muslim bertemu lalu berjabat tangan kecuali keduanya diampuni (dosanya) sebelum lepas jabat tangan mereka. (HR. Shahih Sunan Tirmidzi 3/122)
Hadits di atas secara jelas menunjukakan keutamaan berjabat tangan. Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali-hafidzalloh-berkata: “Dalam hadits ini Alloh mengutamakan umat ini di atas umat-umat yang lain dengan menjadikan jabat tangan sebagai penebus atau pelebur dosa”. (Bahjatun Nadhirin 2/152).

HUKUM BERJABAT TANGAN
Bila ditinajau segi hukum, jabat tangan dibagi menjadi beberapa bagian :
1.       Sunnah atau Mustahabbah
Dari Qotadah, ia berkata: “Saya bertanya kepada Anas bin Malik, ‘Apakah jabat tangan telah ada pada jaman sahabat Rasulullah shallahu’alahi wa sallam? Anas menjawab,”Ya”. (HR. Shahih sunan Tirmidzi 2/91)
Ibnu Bathol rahimahullah berkata,”Jabat tangan adalah baik menurut para ulama.” Imam Malik menyatakan bahwa jabat tangan mustahab (sunnah) setelah sebelumnya dia membencinya. Imam Nawawi berkata,”Jabat tangan adalah sunnah yang telah disepakati ketika bertemu.” (Tuhfatul Ahwadzi 7/426)
Dari Al Bara’, Rasulullah shallahu’alahi wa sallam bersabda,”Jika dua orang muslim bertemu lalu berjabat tangan dan memuji Allah dan meminta ampun kepadaNya maka diampuni dosa keduanya.” (HR. Shahih sunan Abu Dawud 3/279)
Mubarokfuri berkata,”Hadits ini menunjukkan disunnahkannya berjabat tangan ketika bertemu, dan disunnahkan memuji Alloh dan meminta ampun padaNya yaitu dengan mengatakan: yaghfirallahu lana wa lakum (semoga Alloh mengampuni kami dan kalian). (Tuhfatu Ahwadzi 7/429)
Jabat tangan ini suatu ibadah, maka sudah seharusnya seorang muslim mengamalkannya dengan ikhlas hanya mengharapkan pahala Alloh semata. Janganlah berjabat tangan hanya sekedar basa-basi atau mengharap urusan duniawi seperti yang dilakukan oleh orang kafir. Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam bersabda dalam hadits Baro’ bin ‘Azib,”Tidaklah dua orang muslim bertemu lalu salah satunya mengucapkan salam pada yang lain dan menjabat tangannya, tidaklah menjabat tangannya karena Alloh, tidaklah keduanya melepas jabatan tangannya sehingga diampuni. (HR. Ahmad, sanadnya dishahihkan oleh Hamzah Ahmad Zain dalam Syarh Musnad Ahmad 14/208).

2.      Haram
Jabat tangan macam yang kedua ini ada kalanya berupa kemaksiatan dan ada kalanya berupa kebid’ahan. Adapun macam yang pertama adalah seperti jabat tangan seorang lelaki dengan wanita  yang bukan mahramnya. Rasulullah shalallhu’alahi wa sallam sangat keras melarang perbuatan ini dalam hadits-haditsnya yang banyak sekali, diantaranya:
Dari Abdullah bin ‘Amr,”Sesungguhnya Rasulullah tidak berjbat tangan dengan wanita ketika membaiat. (HR. Ahmad 2/213 dishahihkan oleh Syaikh Salim dalam Al Manahi As Syar’iyah 3/59)
Dari Umaimah bintu Ruqoiqih dia berkata,”Rasulullah shalallahu’alahi wa sallam bersabda,”Sesungguhnya aku tidak menjabat tangan wanita, hanyalah perkataanku untuk seratus orang wanita seperti perkataanku untuk satu orang wanita”. (HR. Tirimidzi 1597 dishahihkan oleh Syaikh Salim)
Dari Ma’qol bin Yasar dia berkata,”Rasulullah shalallahu’alahi wa sallam bersabda,”Sungguh kepala laki-laki ditikam dengan jarum besi ituj lebih baik daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya”. (HR. Thabrani dalam Mu’jam al kabir dan dihasnkan oleh Syaikh Salim)
Hadits-hadits diatas jelas melarang kita berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram kita. Tapi kadang muncul di benak kita bagaimana jika wanita itu sudah tua dan dia menggunakan kain sebagai pembatas? Maka tidak ada obat bagi orang yang tidak tahu kecuali bertanya pada yang alim. Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah pernah ditanya masalah ini dan beliau menjawab,”Tidak boleh berjabat tangan dengan wanita-wanita yang bukan mahramnya secara mutlak baik wanita itu masih muda dan sudah tua, baik yang menjabat tangannya itu pemuda maupun kakek-kakek, karena padanya ada bahaya fitnah bagi keduanya.” Kemudian beliau membawakan dua hadits lalu melanjutkan perkataannya,”dan tidak ada bedanya berjabat tangan menggunakan pembatas (kain/sarung tangan) atau pun tidak, karena keumuman dalil tersebut dan untuk membendung sarana yang bisa membawa kepada fitnah.” (fatawa Islamiyyah 3/76).
Adapun jabat tangan yang termasuk kategori bid’ah adalah seperti jabat tangan setelah shalat shubuh dan ashar. Berkata ‘Izz bin Abdus salam,”Berjabat tangan setelah shalat Shubuh dan Ashar termasuk Bid’ah. (Al Qoulu Mubin 294).
Adapun perkataan Imam Nawawi,”…Adapun jabat tangan yang biasa dilakukan manusia setelah shalat Shubuh dan Ashar adalah tidak ada asalnya dalam syariat akan tetapi tidak mengapa dikerjakan asal jabat tangan adalah sunnah. Dan keberadaan manusia menjaga amalan ini pada sebagian keadaaan dan meninggalkannya pada sebagian yang lain atau memperbanyak amalan ini tidaklah keluar dari asal jabat tangan yang disyariatkan.”
Maka berkata Ali Al Qori setelah menyebutkan perkataan  Imam Nawawi rahimahullah diatas,”Dan samar bahwa pada perkataan Nawawi ada pertentangan, karena melakukan sunnah pada sebagian waktu tidak dikatakan bid’ah, sedangkan amalan manusia pada dua waktu ini (jabat tangan setelah shalat Shubuh dan Ashar) tidaklah disunnahkan oleh syariat. Sesungguhnya jabat tangan  yang disyariatkan adalah awal waktu bertemu. Dan kadang terjadi sekelompok manusia saling bertemu tanpa jabat tangan  dan langsung sambut menyambut dengan obrolan atau mempelajari ilmu sampai waktu yang lama, kemudian setelah shalat mereka berjabat tangan. Apakah ini termasuk sunnah yang disyariatkan…?Oleh karena sebagian ulama mempertegas bahwa jabat tangan setelah shalat dibenci dan hal itu termasuk bid’ah yang tercela.
Dan berkata Qodi Basyirudin Al Qonwajiy,”Dan demikianlah jabat tangan dan saling merangkul setelah shalat ‘Iedul Adha ddan ‘Iedul Fitri termasuk bid’ah yag tercela dan menyelisihi syariat.” (Tuhfatul Ahwadzi 7/427).

Dari keterangan-keterangan yang telah berlalu dapat kita ambil beberapa faedah penting diantaranya:
1. Jabat tangan adalah amalan yang disunnahkan dan sangat dianjurkan oleh syariat karena besarnya keutamaan yang dikandungnya diantaranya dia adalah sebab diampuni dosa seseorang. Dan disebutkan oleh Imam Malik (dalam Al Muwatho’), bahwa jabat tangan bisa menghilangkan kedengkian dalam hati seseorang. Akan tetapi hadits ini dilemahkan oleh Syaikh Albani rahimahullah.
2. Hadits-hadits diatas menunjukkan bahwa jabat tangan disunnahkan ketika bertemu. Tapi hal ini tidak menafikan bolehnya berjabat tangan ketika hendak berpisah karena adanya dalil-dalil yang menerangkan hal tersebut. Hal ini diterangkan oleh Syaikh Albani dalam Ash Shahihah no. 16,”Perkataan sebagian mereka bahwa jabat tangan ketika akan berpisah merupakan kebid’ahan adalah tidak benar. Ya, ssesungguhnya orang yang berpijak pada hadits-hadits yang datang pada masalah jabat tangan ketika bertemu mendapatinya lebih banyak dan lebih kuat bila disbanding hadits-hadits yang datang pada masalah jabat tangan ketika berpisah. Dan orang yang faqih akan menarik kesimpulan bahwa jabat tangan ketika berpisah kedudukannya ddalam syariat tidak seperti ketika bertemu. Yang pertama adalah sunnah dan yang kedua adalah mustahabah. Adapun dikatakan bid’ah maka hal itu tidak benar karena  dalil-dalil yang telah kami sebutkan.”
3. Kita harus membedakan anatar jabat tangan yang sunnah dan jabat tangan yang haram, sekalipun pada asalnya jabat tangan itu disyariatkan.
4. Anjuran atau Isthibabnya seorang alim terhadap suatu amalan yang tidak didasari dengan dalil termasuk sebab munculnya bid’ah.
Demikian pembahasan yang dapat kami nukil dari kitab ulama salaf dalam masalah ini. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua. Dan kita berdo’a kepada Alloh agar menunjuki kita ke jalanNya yang lurus dalam semua urusan kita. Amin.

Dinukil dari majalah Al Furqon edisi tahun IV

Pekalongan,Selasa, 9 April 2013 M

Saiful ‘Abu Zuhri’

Tidak ada komentar:

Posting Komentar